Borneo Tribune, Landak
Dahulu ketika kecil, tiap kali melewati kawasan Mandor di kabupaten Landak, orang tua sering menceritakan hal yang sama, yaitu tentang salah satu sejarah terbesar di Kalimantan Barat. Cerita itu tak lain mengenai tragedi berdarah yang terjadi di Mandor. Bahwa di kawasan yang kini ditasbihkan sebagai cagar alam pernah terjadi pembunuhan massal yang memakan korban para raja-raja, keluarga kerajaan, kaum cendekiawan, tokoh masyarakat dan rakyat kecil sebanyak 21.037 orang. Sungguh angka yang fantastik.
Saat itu, seperti kebanyakan anak kecil lainnya, cerita sejarah tak terlalu menarik perhatian. Walhasil kisah yang tak pernah bosan diceritakan oleh orang tua tiap melewati tugu Mandor, hanya berhasil menyisakan sepenggal ingatan bahwa orang Jepang itu kejam. Bahwa orang Jepang itu tidak manusiawi. Bahwa banyak rakyat Kalbar yang hingga kini masih antipati dengan segala sesuatu yang berbau Jepang. Itu dulu, ketika barang-barang elektronik buatan Jepang belum menjadi kawan akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tanggal 28 Juni 2008 kemarin, saya berkesempatan untuk datang ke kawasan Mandor tersebut setelah 20 tahun lalu. Saat turun dari mobil, terlihat para pelayat berduyun-duyun bergegas masuk ke lapangan Monumen Daerah, 30 menit sebelum upacara peringatan Hari Berkabung Daerah. Tampak sekitar 1000 massa saat itu,sebagian besar dari mereka adalah keluarga korban, pelajar dan undangan.
Dari jauh terlihat tugu Monumen yang berhiaskan Garuda Pancasila terpancang dengan gagah di bawah langit biru. Sementara di sisi kiri dan kanan, dua prajurit bersenjata dan karangan bunga terlihat berderet rapi di depan relief yang menggambarkan pembantaian massal tersebut. Menakjubkan sekaligus mengerikan. Bagaimana tidak, relief yang digambarkan dengan detil menunjukkan kronologis tragedi berdarah tersebut. Tak mengherankan jika banyak anak kecil yang berkerumun melihat-lihat relief itu.
“Ini apa sih, pak?”, tanya seorang anak pada ayahnya yang tampak tekun memperhatikan relief tersebut. Wajah sang ayah tampak bingung, tampaknya tak tahu harus menjawab apa. Entahlah, apakah Ia sedang kebingungan menyusun kata atau jangan-jangan tidak tahu menahu tentang tragedi berdarah itu?
Entah kenapa, tragedi berdarah yang terjadi di kawasan Mandor tidak pernah mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah. Jangankan memasukkan tulisan tentang tragedi Mandor ke dalam kurikulum pelajaran sejarah untuk
sekolah dari jenjang SD hingga SMU di Kalbar, mensosialisasikan tentang Hari Berkabung Daerah (HBD) saja tidak ada sama sekali! Hal ini bisa terlihat dengan tidak adanya pengibaran bendera setengah tiang di berbagai kota, kecuali Kabupaten Landak. “Saya tidak tahu, pemerintah tidak ada mensosialisasikannya di koran,” ujar seorang wanita paruh baya di komplek perumahan TNI AD di Pontianak.
Terbersit sedikit pikiran nakal di dalam kepala, mungkin Pemerintah sudah merasa cukup memberikan perhatian dengan mengirim karangan bunga tanda bela sungkawa dan mendegelasikan sejumlah pejabat untuk menghadiri upacara yang dipimpin oleh Sekda Kalbar, Drs H Syakirman. Saat itu, keberadaan Beliau di Tugu Monumen Daerah untuk mewakili Gubernur yang ke Kapuas Hulu dan Wagub yang ke Jambi, sementara Bupati Landak berada di Yogyakarta. Waduh, sebegitu sibuknya kah hingga para pemimpin daerah tidak bisa meluangkan sedikit waktu untuk menunjukkan rasa empati pada sejumlah ahli waris yang telah bela-belain datang dari Pontianak untuk melayat.
Tanpa menafikan upacara yang berlangsung khusuk yang berlangsung selama 30 menit dan dilanjutkan dengan penempatan karangan bunga serta ziarah ke 10 makam massal. Rasanya kasihan sekali melihat sejumlah ahli waris yang tampak khusuk mengikuti upacara di bawah teriknya matahari. Salah satu ahli waris yang diwakili oleh Drs. Gusti Suryansyah, M.Si menyayangkan ketidak hadiran Gubernur atau Wakil Gubernur. Menurutnya, acara Hari Berkabung Daerah ini sangat penting sehingga seharusnya acara yang lain bisa diatur mundur atau dipercepat. Teorinya sih begitu, tapi tampaknya sangat sulit untuk diaplikasikan oleh mereka.
Tampaknya, para pemimpin daerah harus menoleh sejenak ke belakang. Melihat kembali tapak tilas yang dilakukan oleh Gubernur Kadarusno yang mau menunjukkan kepedulian dengan meresmikan Monumen Makam Juang Mandor pada tanggal 28 Juni 1977. Tak hanya itu, beliau tak pernah mengenal lelah untuk mensosialisasikan sejarah tragedi berdarah tersebut.
Satu yang harus kita renungkan, bahwa sejarah ini bukan hanya milik rakyat Kalimantan Barat, tetapi juga milik rakyat Indonesia. Mengapa? Karena korban yang berjatuhan pada 64 tahun yang lalu, sebagian besar mewakili etnik yang ada di Indonesia. Sebut saja Melayu, Dayak, Minahasa, Batak, Jawa bahkan Tionghoa. Beragam etnik yang terlihat dari keberagaman warna kulit, suku dan agama di Mandor menunjukkan duka yang tak pernah terpulihkan.Mungkin duka ini hanya dimiliki oleh sejumlah ahli waris yang merasakan pahitnya ditinggalkan keluarganya. Mungkin hanya ahli waris saja yang perlu berkabung atas malapetaka yang ditimbulkan oleh tentara pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945. Karena realita yang terlihat, sama sekali tidak terlihat kepedulian yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah dalam tragedi Mandor. Hal ini bisa terlihat dari spanduk-spanduk yang bergelimpangan begitu saja di area Kawasan Makam Mandor, hari Sabtu (28/6), tampaknya ‘lupa’ untuk dirapikan.
Dahulu ketika kecil, tiap kali melewati kawasan Mandor di kabupaten Landak, orang tua sering menceritakan hal yang sama, yaitu tentang salah satu sejarah terbesar di Kalimantan Barat. Cerita itu tak lain mengenai tragedi berdarah yang terjadi di Mandor. Bahwa di kawasan yang kini ditasbihkan sebagai cagar alam pernah terjadi pembunuhan massal yang memakan korban para raja-raja, keluarga kerajaan, kaum cendekiawan, tokoh masyarakat dan rakyat kecil sebanyak 21.037 orang. Sungguh angka yang fantastik.
Saat itu, seperti kebanyakan anak kecil lainnya, cerita sejarah tak terlalu menarik perhatian. Walhasil kisah yang tak pernah bosan diceritakan oleh orang tua tiap melewati tugu Mandor, hanya berhasil menyisakan sepenggal ingatan bahwa orang Jepang itu kejam. Bahwa orang Jepang itu tidak manusiawi. Bahwa banyak rakyat Kalbar yang hingga kini masih antipati dengan segala sesuatu yang berbau Jepang. Itu dulu, ketika barang-barang elektronik buatan Jepang belum menjadi kawan akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tanggal 28 Juni 2008 kemarin, saya berkesempatan untuk datang ke kawasan Mandor tersebut setelah 20 tahun lalu. Saat turun dari mobil, terlihat para pelayat berduyun-duyun bergegas masuk ke lapangan Monumen Daerah, 30 menit sebelum upacara peringatan Hari Berkabung Daerah. Tampak sekitar 1000 massa saat itu,sebagian besar dari mereka adalah keluarga korban, pelajar dan undangan.
Dari jauh terlihat tugu Monumen yang berhiaskan Garuda Pancasila terpancang dengan gagah di bawah langit biru. Sementara di sisi kiri dan kanan, dua prajurit bersenjata dan karangan bunga terlihat berderet rapi di depan relief yang menggambarkan pembantaian massal tersebut. Menakjubkan sekaligus mengerikan. Bagaimana tidak, relief yang digambarkan dengan detil menunjukkan kronologis tragedi berdarah tersebut. Tak mengherankan jika banyak anak kecil yang berkerumun melihat-lihat relief itu.
“Ini apa sih, pak?”, tanya seorang anak pada ayahnya yang tampak tekun memperhatikan relief tersebut. Wajah sang ayah tampak bingung, tampaknya tak tahu harus menjawab apa. Entahlah, apakah Ia sedang kebingungan menyusun kata atau jangan-jangan tidak tahu menahu tentang tragedi berdarah itu?
Entah kenapa, tragedi berdarah yang terjadi di kawasan Mandor tidak pernah mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah. Jangankan memasukkan tulisan tentang tragedi Mandor ke dalam kurikulum pelajaran sejarah untuk
sekolah dari jenjang SD hingga SMU di Kalbar, mensosialisasikan tentang Hari Berkabung Daerah (HBD) saja tidak ada sama sekali! Hal ini bisa terlihat dengan tidak adanya pengibaran bendera setengah tiang di berbagai kota, kecuali Kabupaten Landak. “Saya tidak tahu, pemerintah tidak ada mensosialisasikannya di koran,” ujar seorang wanita paruh baya di komplek perumahan TNI AD di Pontianak.
Terbersit sedikit pikiran nakal di dalam kepala, mungkin Pemerintah sudah merasa cukup memberikan perhatian dengan mengirim karangan bunga tanda bela sungkawa dan mendegelasikan sejumlah pejabat untuk menghadiri upacara yang dipimpin oleh Sekda Kalbar, Drs H Syakirman. Saat itu, keberadaan Beliau di Tugu Monumen Daerah untuk mewakili Gubernur yang ke Kapuas Hulu dan Wagub yang ke Jambi, sementara Bupati Landak berada di Yogyakarta. Waduh, sebegitu sibuknya kah hingga para pemimpin daerah tidak bisa meluangkan sedikit waktu untuk menunjukkan rasa empati pada sejumlah ahli waris yang telah bela-belain datang dari Pontianak untuk melayat.
Tanpa menafikan upacara yang berlangsung khusuk yang berlangsung selama 30 menit dan dilanjutkan dengan penempatan karangan bunga serta ziarah ke 10 makam massal. Rasanya kasihan sekali melihat sejumlah ahli waris yang tampak khusuk mengikuti upacara di bawah teriknya matahari. Salah satu ahli waris yang diwakili oleh Drs. Gusti Suryansyah, M.Si menyayangkan ketidak hadiran Gubernur atau Wakil Gubernur. Menurutnya, acara Hari Berkabung Daerah ini sangat penting sehingga seharusnya acara yang lain bisa diatur mundur atau dipercepat. Teorinya sih begitu, tapi tampaknya sangat sulit untuk diaplikasikan oleh mereka.
Tampaknya, para pemimpin daerah harus menoleh sejenak ke belakang. Melihat kembali tapak tilas yang dilakukan oleh Gubernur Kadarusno yang mau menunjukkan kepedulian dengan meresmikan Monumen Makam Juang Mandor pada tanggal 28 Juni 1977. Tak hanya itu, beliau tak pernah mengenal lelah untuk mensosialisasikan sejarah tragedi berdarah tersebut.
Satu yang harus kita renungkan, bahwa sejarah ini bukan hanya milik rakyat Kalimantan Barat, tetapi juga milik rakyat Indonesia. Mengapa? Karena korban yang berjatuhan pada 64 tahun yang lalu, sebagian besar mewakili etnik yang ada di Indonesia. Sebut saja Melayu, Dayak, Minahasa, Batak, Jawa bahkan Tionghoa. Beragam etnik yang terlihat dari keberagaman warna kulit, suku dan agama di Mandor menunjukkan duka yang tak pernah terpulihkan.Mungkin duka ini hanya dimiliki oleh sejumlah ahli waris yang merasakan pahitnya ditinggalkan keluarganya. Mungkin hanya ahli waris saja yang perlu berkabung atas malapetaka yang ditimbulkan oleh tentara pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945. Karena realita yang terlihat, sama sekali tidak terlihat kepedulian yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah dalam tragedi Mandor. Hal ini bisa terlihat dari spanduk-spanduk yang bergelimpangan begitu saja di area Kawasan Makam Mandor, hari Sabtu (28/6), tampaknya ‘lupa’ untuk dirapikan.
No comments:
Post a Comment