…..Terima Kasih Atas Kunjungan Anada di Blog Iccky…..

Tuesday, 9 March 2010

Kerajaan Mempawah


 Mempawah adalah ibu kota kabupaten Pontianak, provinsi Kalimantan Barat.
Berawal Dari Bangkule Rajank Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan raja Opu Daeng Manambung pada 1737-1761. Namun, kerajaan ini sebelumnya sudah ada jauh sebelumnya, sekitar 1380.
Berawal Dari Bangkule Rajank Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan raja Opu Daeng Manambung pada 1737-1761. Namun, kerajaan ini sebelumnya sudah ada jauh sebelumnya, sekitar 1380.
Pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri di pegunungan Sadaniang. Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah kerajaan suku Dayak, yang dipimpin oleh Raja Patih Gumantar.
Nama kerajaannya adalah Bangkule Rajank, dengan ibukota yang ditetapkan di Sadaniang. Kerajaan tersebut lebih terkenal dengan nama kerajaan Sadaniang, yang menjadi pusat pemerintahan pada saat itu.
Kejayaan kerajaan Bangkule Rajank membuat Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung ingin menguasainya. Perangpun timbul untuk merebut kekuasaan dari tangan Patih Gumantar.
Peperangan kala itu dilakukan dengan cara Kayau (memenggal kepala manusia). Serangan yang tiba-tiba dari kerajaan Bidayuh, membuat Patih Gumantar mengalami kekalahan. Raja yang terkenal gagah berani itu, meninggal akibat terkayau oleh lawannya.
Sejak kematian Patih Gumantar, perlahan-lahan kerajaan Bangkule Rajank mengalami kehancuran. Namun, kerajan ini bangkit kembali sekitar 1610 di bawah pimpinan Raja Kudong.
Kerajaan yang baru terisi oleh Raja Kudong setelah terjadinya perang Kayau, merupakan kepemimpinan baru yang bukan berasal dari keturunan Patih Gumantar. Ia memindahkan pusat pemerintahan kerajaan ke Pekana (sekarang dinamakan Karangan).
Pengganti Raja Kudong adalah Raja Senggaok yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senggaok. Pusat pemerintahanpun berpindah lagi ke Senggaok (hulu sungai Mempawah). Raja ini menikahi seorang putri Raja Qahar dari kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, yang bernama Puteri Cermin.
Ketika mereka menikah, seorang tukang nujum meramal kehidupan mereka. Tukang nujum mengatakan, bila Panembahan Senggaok dan Puteri Cermin melahirkan seorang putri, maka kerajaan nantinya akan diperintah oleh raja yang berasal dari kerajaan lain.
Hasil pernikahan tersebut melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Mas Indrawati. Ketika putri mahkota beranjak dewasa, ia menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari kerajaan Matan (Ketapang).
Mas Indrawati melahirkan seorang putri yang berparas cantik. Sultan Muhammad Zainuddin menamai anaknya itu Putri Kesumba, yang akhirnya menikah dengan Opu Daeng Manambung.
Raja Seorang Pelaut
Opu Daeng Manambung bukanlah orang Kalimantan asli. Ia beserta empat orang adiknya berasal dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka terkenal sebagai pelaut yang handal dan merantau keluar dari tanah kelahirannya.
Lautan yang mereka arungi antara lain Banjarmasin, Betawi, berkeliling hingga Johor, Riau, Semenanjung Melaka. Selama mengarungi lautan, mereka banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang mengalami kesulitan.
Bantuan yang mereka lakukan tersebut berbentuk membantu kerajaan kecil berperang, baik perang saudara maupun diserang oleh kerajaan lain. Seringnya mereka memenangi peperangan mengakibatkan mereka dikenal banyak orang dan kerajaan.
Merekapun sampai di daerah Kerajaan Tanjungpura (Matan), yang sedang mengalami perang saudara. Penyebab perang tersebut adalah Sultan Muhammad Zainuddin diserang oleh adik kandungnya yang bernama Pangeran Agung.
Pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan oleh Pangeran Agung berhasil dipadamkan oleh Opu Daeng Manambung beserta adiknya. Bahkan, Opu Daeng Manambung boleh mempersunting Putri Kesumba. Mereka dikaruniai sepuluh anak, diantaranya adalah Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya.
Sekitar tahun 1740, Opu Daeng Manambung dan istrinya menuju ke Mempawah. Merekapun mengunjungi Senggaok dan dilakukan serah terima pemerintahan dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Manambung. Pusat kerajaan dipindahkan ke Sebukit Rama (sekitar 10 kilometer dari Kota Mempawah).
Opu Daeng Manambung dikenal sebagai raja yang bijaksana. Penduduknya beragama Islam dan taat. Ia selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam memecahkan segala persoalan yang terjadi di kerajaannya.
Gusti Jati Pendiri Kota Mempawah
Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya merupakan penerus tahta kerajaan Mempawah setelah Opu Daeng Manambung meninggal dunia pada 26 Syafar 1175 Hijriah. Masa kepemimpinan Gusti Jamiril membawa kemakmuran wilayah kerajaan yang dikuasainya.
Masa keemasan Gusti Amiril tersebut, bersamaan dengan masa penjajahan Belanda. Bahkan, kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Hal itu disebabkan, raja Mempawah diisukan membenci dan akan memberontak pemerintahan Hindia Belanda.
Kabar tersebut membuat Belanda murka dan mengirimkan tentara prajurit yang bermarkas di Pontianak untuk menyerbu kerajaan Mempawah. Gusti Amiril yang mengetahui adanya penyerbuan, memutuskan memindahkan pusat pemerintahan ke Karangan.
Akibat sulitnya medan perjalanan dari Mempawah menuju Karangan, gerakan pasukan Belanda menjadi lamban dan gagal. Kebencian Panembahan Adijaya Kesuma Jaya semakin menjadi kepada Belanda.
Selama hayatnya, Gusti Jamiril berusaha untuk mengusir penjajah Belanda. Bahkan, sebelum meninggal, ia berpesan apabila meninggal dunia, dirinya tidak rela dikebumikan ke luar dari Karangan.
Jabatan raja sepeninggal Gusti Jamiril dipimpin oleh anaknya, Gusti Jati yang bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Kedudukan Gusti Jati yang berada di Mempawah, dipercaya sebagai pendiri Kota Mempawah.
Kedudukan Gusti Jati digantikan oleh adiknya yang bernama Gusti Amir dan bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. Setelah Gusti Amir wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Panembahan Mukmin.
Namun, usai penobatan kerajaan dilakukan, Panembahan Mukmin meninggal dunia. Iapun dikenal dengan sebutan Raja Sehari. Karena putranya masih kecil dan dirasa belum mampu mengurus kerajaan, penerus kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada adiknya, Gusti Mahmud, yang bergelar Panembahan Muda Mahmud.
Wafatnya Gusti Mahmud digantikan oleh putra Panembahan Mukmin yang bernama Panembahan Usman dan bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma. Ia mangkat pada 6 Jumadil, awal 1280 Hijriah, dan dimakamkan di Pulau Pedalaman.
Perjuangan Melawan Penjajah
Selepas Panembahan Usman wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mempawah dipegang oleh putra Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin. Masa pemerintahannya inilah, pennindasan penjahan Belanda merajalela dan mengakibatkan masyarakat menderita.
Tak tahan ditindas, masyarakat mulai mengadakan pemberontakan kepada penjajah Belanda. Terlebih, dengan diberlakukannya pembayaran pajak oleh masyarakat dengan cara pemaksaan.
Pemberontakan dilakukan oleh suku Dayak. Peperangan tersebut dikenal dengan nama perang Sangking, hingga mayarakat banyak merasa antipati dengan keberadaan Belanda di tanah kerajaan Mempawah.
Setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin wafat, pimpinan kerajaan yang semula akan diberikan kepada putranya, Gusti Muhammad Taufik. Tetapi, putranya tersebut belum dewasa, hingga kerajaan dipimpin sementara oleh Pangeran Ratu Suri, kakak dari Gusti Muhammad Taufik.
Pada 1902 masehi, Gusti Muhammad Taufik dirasakan sudah cukup umur untuk memimpin kerajaan. Iapun naik tahta dan bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Ia ditawan oleh Belanda bersama raja-raja daerah lainnya serta para pemimpin pemuka masyarakat.
Lepas dari tawanan Belanda, Gusti Muhammad Taufik diculik oleh penjajah Jepang. Bersama para tokoh masyarakat yang diculik, ia dibunuh. Lokasi pembunuhan sekaligus tempat pemakaman terjadi di Mandor.
Gusti Muhammad Taufik meninggalkan empat orang anak. Yakni Pangeran Mohammad atau yang saat ini dikenal bernama Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim, Pangeran Faitsal Taufik, Pangeran Abdullah, dan Pangeran Ratu Hajjah Thaufiqiyah Mohammad Taufik.
Pada masa itu, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti raja yang diketuai oleh Pangeran Wiranata Kesuma (1944-1946).
Akhir Kepemimpinan Kerajaan Mempawah
Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad yang baru berumur 13 tahun pernah diangkat menjadi panembahan (tokoh) Mempawah oleh pemerintah bala tentara Jepang dalam suatu upacara di depan gedung Kerapatan.
Tokoh-tokoh masyarakat kemudian melakukan lagi upacara penobatan yang sama pada tahun 1946. Tahun ini pula Belanda (NICA) datang lagi ke Mempawah dan mencoba mengangkat raja kembali.
Karena Panembahan Pangeran Mohammad (Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim) belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya yang baru duduk di kelas VSD (Jokio Ko Gakko), ia tidak bersedia diangkat kembali.
Pengganti Pangeran Mohammad adalah Gusti Musta¢an yang menjadi raja sementara bergelar ¡wakil panembahan¢ hingga tahun 1955. Meskipun sudah pernah dinobatkan secara formal menjadi Panembahan dan sudah dewasa, Pangeran Mohammad menyatakan tidak bersedia menggantikan ayahnya sebagai raja.
Penolakan tersebut dikarenakan dirinya ingin terus melanjutkan pendidikannya di perguruan tingga Gadjah Mada Yogyakarta. Keputusannya itu mengakhiri kepemimpinan kerajaan Mempawah.
Sejak berdirinya kerajaan Mempawah hingga berakhirnya masa kepemimpinan berakhir, kerajaan sudah mengalami perpindahan pusat kerajaan sebanyak lima kali. Yakni pegunungan Sadaniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.
Raja yang memimpin kerajaan Mempawah dibagi dalam dua zaman, yaitu zaman Hindu dan Islam. Zaman Hindu dipimpin oleh tiga raja, sedangkan zaman Islam dipimpin oleh 13 raja.
Raja zaman Hindu adalah Patih Gumantar, Raja Kudong, dan Panembahan Senggaok. Raja zaman Islam adalah Opu Daeng Manambung, Gusti Jamiril, Syarif Kasim, Syarif Husein, Gusti Jati, Gusti Amir, Gusti Mukmin, Gusti Mahmud, Gusti Usman, Gusti Ibrahim, Muhammad Tsafiudin, Drs Gusti H Jimmi Muhammad Ibrahim, dan Ir Mardan Adijaya M Sc P Hd

Sebelum terkenalnya Kerajaan Mempawah yang dikenal dengan Istana Amantubillah dan Opu Daeng Manambon, telah ada jauh kebelakang kerajaan Dayak yang ketika itu sangat populer dikenal di Kalimantan Barat. Dan apabila akan mencoba menuliskan sebuah kerajaan di Kalimantan Barat sebelah Barat khususnya, maka tidak dapat dilepaskan kaitan dan rangkaiannya dengan penduduk aslinya yaitu Suku Dayak yang mula pertama menjadi raja dan penguasa.

Sebagaimana dituturkan penulis sejarah Kerjaan Mempawah, mengatakan, masuknya Agama Islam di Indonesia pada akhir abad ke 13 sekitar 1292 lalu, melalui Pulau Sumatera bagian Utara (Aceh), yang meluas sampai ke Pulau Jawa, maka berangsur-angsur runtuhlah kerajaan besar Majapahit yang terpusat di Pulau Jawa. Dan terdapatlah pulau besar yang belum pernah disentuh oleh penyebaran Agama Islam.

“Kerajaan Melayu (Islam) di Kalimantan Barat tumbuh sebelum Imperium Melaka jatuh ketangan Portugis pada abat ke 16, sebagaimana diketahui adanya kerajaan Mempawah, Kerajaan Sambas, Kerajaan Matan (Ketapang) dan sejumlah kerajaan kecil di daerah pedalama,” katanya.

Perkembangan sebuah Kerajaan Melayu di Kalimantan Barat, khususnya Sambas dan Mempawah, termasuk Ketapang tidak terlepas dari kontribusi pahlawan-pahlawan Bugis yang memainkan peran di kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

“Kerajaan mempawah lebih dikenal pada masa Pemerintahan Opu Daeng Manambon yaitu sejak 1737-176, sebenarnya kerajaan Mempawah itu sudah ada sebelumnya diperkirakan sejak tahun 1380,” katanya.

Lanjutnya lagi pertama kali Kerajaan Mempawah berdiri, pusat pemerintahannya bukanlah terletak di Mempawah seperti yang dilihat bekas-bekas peninggalannya sekarang. Tetapi pusatnya terletak di Pegunungan Sidiniang (Mempawah Hulu). Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah Kerajaan Suku Dayak, adapun penguasa dari kerajaan suku Dayak adalah Patih Gumantar. Pada Kerajaan Patih Gumantar disebut kerajaan Bangkule Rajakng, ibukotanya ditetapkan di Sadiniang, bahkan kerajaannya dinamakan Kerajaan Sadiniang.

“Pada masa kekuasaan Patih Gumantar, Kerajaan Bangkule Rajakng berada dalam era kejayaan,” ucapnya.

Sehingga kerajaan tetangga yang ingin merebutnya yaitu Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung, maka terjadi perang kayau mengayau (memenggal kepala manusia). Meskipun Patih Gumantar sangat berani, namun dengan adanya serangan mendadak. Patih Gumantar kalah dan kepalanya terkayau (terpenggal) oleh orang-orang Suku Bidayuh, sejak kematian Patih Gumantar kerajaan Bangkule Rajakng mengalami kehancuran.

“Beberapa abad kemudian kira-kira tahun 1610, Kerajaan Suku Dayak bangkit kembali di bawah kekuasaan Raja Kudong dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Pekana (sekarang dinamakan Karangan), namun berdirinya kerajaan ini tidak ada hubungannya dengan Patih Gumantar,” katanya.

Lanjutnya lagi, setelah Raja Kudong wafat pemerintahan diambil alih oleh Raja Senggaok dari pusat kerajannya dipidahkan ke Senggaok ( masih di hulu Sungai Mempawah). Raja Senggaok lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Senggaok yang mempunyai istri bernama Puteri Cermin yaitu salah satu puteri Raja Qahar dari kerajaan Baturizal Indragiri Sumatera dan mereka dikarunia seorang anak yang diberi nama Mas Indrawati.

“Pada saat perkawinan raja Senggaok dan Puteri Cermin, diramalkan seorang ahli nujum apabila kelak lahir seoarang anak perempuan dari hubungan mereka maka kerajaan tersebut akan diperintah oleh seorang raja yang berasal dari kerajan lain. Ketika usia Mas Indarwati telah cukup dewasa, ia dikawinkan dengan Sulthan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dan dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang puteri berparas cantik yang diberi nama Puteri Kesumba,” paparnya.

Ramalan ahli nujum terhadam Raja Senggaok dan Pitri Cermin apabila kelak lahir seoarang anak perempuan dari hubungan mereka maka kerajaan tersebut akan diperintah oleh seorang raja yang berasal dari kerajan lain ternyata menjadi kenyataan

“Ternyata apa yang diramalkan ahli nujum itu benar adanya. Setelah berakhir pemerintahan Raja Senggaok. Kerajaan Mempawah diperintah oleh Raja Opu Daeng Manambon pelaut ulung dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan,” kata Ellyas Suryani Soren melanjutkan ceritanya yang pernah ditulisnya dalam buku Legenda dan Cerita Rakyat Mempawah.

Maka dari itu, Ellyas menjelaskan, Opu Daeng Manambon bukanlah orang Kaliamantan asli, beliau beserta keempat adik-adiknya berasal dari Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan pemberani. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya merantau mengarungi lautan luas menuju Banjarmasin, Betawi, berkeliling sampai Johor, Riau, Semenajung Melayu akhirnya sampai pula di daerah Kerajaan Tanjungpura (Mantan).

“Dalam perantauannya, kelima bersaudara tersebut banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang sedang mengalami kesulitan. Kesulitan seperti terlibat pada suatu peperangan, baik perang saudara ataupun baru diserang kerajaan lain. Karena kebiasaan tersebut dan sifat suka menolong terhadap pihak yang lemah inilah mereka terkenal sampai dimana-mana,” katanya.

Dan terbukti apa yang dilakukan kelima saudara tersebut ketika datang di Kerajaan Tanjungpura. Pada saat itu Kerajaan Tanjungpura sedang terjadi perang saudara, disebabkan adik kandung Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Pangeran Agung menyerang Sultan Muhammad Zainuddin. Kelima saudara tersebut berhasil membantu memadamkan pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan dari Pangeran Agung. Bahkan Opu daeng Manambon berhasil mempersunting Puteri Sultan Muhammad Zainuddin yaitu Puteri Kesumba cucu dari Panembahan Senggaok.

“Dari perkawinan Opu Daeng Manambon dengan Putri Kesumba, lahirlah sepuluh orang putra puteri, tetapi yang paling terkenal yaitu Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya,” katanya.

Lanjutnya lagi kertika Opu Daeng Manambon sampai di Senggaok, diadakan serah terima dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Manambon, karena Opu Daeng Manambon adalah cucu menantu Panembahan Senggaok. Sehingga Opu Daeng Manambon memangku jabatan Raja Mempawah yang ke tiga dandia memindahkan pusat Kerajaan Mempawah di Sebukit Rama ( kira-kira 10 Km ) dari Kota Mempawah.

“Pemerintahan yang dilaksanakan Opu Daeng Manambon berjalan lancar beliau termasuk seorang raja yang bijaksana dan penduduknya beragama Islam serta taat. Selain itu Opu Daeng Manambon ini selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam memecahkan segala persoalan di kerajaan,” tuturnya.

Seperti yang diuraikan diatas tadi, dari kesepuluh putra-putri Opu Daeng Manambon hanya putrinya Utin Chandramidi adalah istri Sultan Abdurrahman Alkadrie, raja pertama Kerajaan Pontianak sehingga nama tersohornya sampai saat ini. Sedangkan putranya Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, selain dia sebagai raja pengganti ayahnya, juga lebih terkenal itu dengan Raja yang paling anti dengan penjajah (Belanda) dengan sumpahnya, jasadnya diharamkan untuk dimakamkan di tanah yang di injak oleh Penjajah Belanda.

Setelah Opu Daeng Manambon wafat tanggal 26 Syafar 1175 Hijriah dan dimakamkan di Sebukit Rama yang selalu diramai dikunjungai masyarkat baik dari Kota Mempawah maupun daerah lain. Dimana kawasan makam Opu Daeng Manambon akan dikembangan menjadi kawasan wisata sejarah Kabupaten Pontianak. Dan ada keunikan yang ada disekitar makam dimana jumlah tangga selalu berubah dan setiap orang yang menghitung jumlahnya tidak akan pernah sama dengan orang lain.

“Setelah wafat Opu Daeng Manambon maka tampuk kerajaan diserahkan kepada Gusti Jamiril anaknya yang bergelar Panembahan Adijaya Kesuma Jaya. Dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Dan masa pemerintahan Gusti Jamiril pula, kerajaan Mempawah mengalami masa keemasan,” kata Ellyas Suryani Soren yang menjabat sebagai Sekretaris Majelis Adat Budaya Melayau Kabupaten Pontianak.

Karena Panembahan Adijaya Kesuma mampu memimpin Kerajaan Mempawah dengan baik, kerajaannya menjadi suatu kerajaan yang makmur, akan tetapi beliau diifitnah membenci dan mau memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tentunya Belanda murka dan mengerahkan ratusan prajuritnya yang bermarkas di Pontianak untuk menyerang Kerajaan Mempawah.

“Melihat situasi yang tidak baik, akhirnya Panembahan Adijaya Kesuma mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah di Karangan yang letaknya di Mempawah Hulu,” katanya

Keputusan tersebut diambil karena pada masa itu hubungan baik komunikasi maupun transportasi dari Mempawah ke Karangan sangat sulit sehingga gerakan pasukan Belanda menuju Karangan berjalan lamban sekali. Selain itu kebencian Panembahan Adijaya Kusuma terhadap penjajah Belanda semakin menjadi-jadi,” kata pria setengah baya ini.

Namun Panembahan Adijaya Kesuma sampai wafatnya terus berusaha mengusir Belanda. tetapi belum juga berhasil. Sebelum wafat beliau beramanah apabila meninggal dunia beliau tidak rela dikuburkan di luar kota Karangan, karena beliau tidak rela jenazahnya dijamah oleh Belanda. Dan setelah Gusti Jamiril (Panembahan Adijaya kesuma) wafat, jabatan raja diserahkan kepada anaknya Gusti Jati dan bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin dan kedudukannya adalah di Mempawah yang berarti bahwa beliaulah sebagai pendiri kota Mempawah ini.

Kemudian sebagai pengantinya setelah Sultan Muhammad Zainal Abidin meninggal digantikan oleh adiknya Gusti Amir yang bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin.

“Setelah beliau wafat tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya Panembahan Mukmin. Namun ajal ditangan Allah SWT memang manusia punya rencana, tetapi Allah SWT juga yang menentukan segalanya, karena setelah selesai penobatan Panembahan Mukmin wafat dan sebab itu dia disebut Raja Sehari,” ucapnya.

Kemudian sebagai penggantinya adalah adiknya bernama Gusti Mahmud dan bergelar Panembahan Muda Mahmud. Panembahan Usman putera dari Panembahan Mukmin, kemudian naik tahta kerajaan setelah Panembahan Muda Mahmud mangkat.

“Panembahan Usman ketika dia menjadi raja bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma dan mangkat pada tanggal 6 Jumadil Awal tahun 1280 Hijriah di makamkan di Pulau Pedalaman,” ujarnya.

Setelah wafat Panembahan Usman, maka yang memegang tampuk Kerajaan Mempawah adalah putera Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin, pada saat pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin inilah, Belanda mulai lagi menyakiti hati rakyat Mempawah sehingga tahun 1941 timbul pemberontakan Suku Dayak terhadap Belanda. Apalagi Belanda sudah mulai menggunakan kekerasan dan memaksa rakyat membayar pajak. Dan peristiwa ini disebut Perang Sangking, jelas rakyat Mempawah pada waktu itu mulai antisipasi terhadap Belanda.

Kemudian setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin ini wafat, maka semulanya pimpinan kerajaan akan diserahkan kepada Puteranya Gusti Muhammad Taufik, tetapi karena puteranya ini belum dewasa, maka kerajaan dipimpin sementara oleh Pangeran Ratu Suri kakak dari Gusti Muhammad Taufik sendiri.

Setelah beberapa tahun kemudian, Gusti Muhammad Taufik naik tahta pada tahun 1902 M dan kemudian bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Dua tahun 1944, Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin ini ditangkap oleh Jepang, bersama-sama Raja-raja daerah lainnya serta para Pemimpin Pemuka Masyarakat.

Kemudian 12 kepala Swapraja beserta tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang ditangkap Jepang yang akan memberontak terhadap rezim “Pemerintah Bala Bantuan Tentara Jepang” tersebut semuanya dihukum mati.
Korban pembunuhan Jepang pada waktu itu tidak kurang dari 21.037 orang. Dan sebagian dari pada korban tersebut dikuburkan di Mandor dalam semak belukar.

Beliau meninggalkan empat orang putera-puteri, yaitu Pangeran Mohammad yang sekarang dikenal dengan nama Drs. H. Jimmi Mohammad Ibrahim, kedua Pangeran Feitsal Taufik, Pangeran Abdullah dan Panggeran Taufikiah.
Pada masa kedudukan Jepang, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti Raja yang diketuai oleh Pangeran Wiranata Kesuma (Tahun 1944-1946).

Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad yang baru berusia 13 tahun pernah diangkat sebagai tokoh (Panembahan) Mempawah oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang dalam suatu upacara di depan Gedung Kerapatan.
Dan kemudian dilakukan upacara penobatan oleh tokoh-tokoh masyarakat, pada tahun1946 Belanda (NICA) datang kembali ke Mempawah dam mencoba mengangkat Panembahan (Raja) lagi.

Karena pada waktu itu Panembahan Pangeran Mohammad (Drs. Jimmi Mohammad Ibrahim) belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya, karena pada waktu itu baru duduk di kelas V SD (Jokio Ko Gakko), meskipun sudah pernah dinobatkan secara formil menjadi Panembahan, tetapi tidak bersedia diangkat kembali, maka diangkatlah Gusti Musta’an sebagai Raja sementara dengan gelar “Wakil Panembahan” sampai tahun 1957. Setelah Pangeran Mohammad dewasa, kemudian beliau menyatakan diri tidak bersedia diangkat sebagai Raja menggantikan ayahnya, dan masih tetap ingin melanjutkan sekolahnya di Perguruan Tinggi Gajah Mada di Yogyakarta.

Dan disinilah berakhirnya kepemimpinan kerajaan Mempawah, dan sejarah menunjukan bahwa Kerajaan Mempawah sejak berdiri hingga berakhir sudah mengalami perpindahan pusat Kerajaan sampai 5 (lima) kali. Daerah-daerah yang pernah ditempati sebagai pusat pemerintahannya adalah, Pengunungan Sidiniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.

Dan Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan ini dibagi atas 2 (dua) zaman, yaitu zaman Hindu dan Islam. Pada zaman Hindu Pemerintahan Kerajaan Dayak dalam kekuasaan Patih Gumantar pusat pemerintahannya terletak di Pegunungan Sidiniang, Raja Kudong pusat pemerintahannya terletak di Pekana (Karangan), Panembahan Senggaok pusat pemerintahannya terletak di Senggaok.

Sedangkan pada zaman Islam dipimpin oleh Opu Daeng Manambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara, Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, Syarif Kasim bin Abdurrahman Alkadrie, Syarif Hussein bin Abdurrahman Alkadrie, Gusti Jati bergelar Sulthan Muhammad Zainal Abidin, Gusti Amir bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin, Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Natajaya Kesuma, Gusti Mahmud bergelar Panembahan Muda Mahmud Accamaddin, Gusti Usman bergelar Panembahan Usman, Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiuddin dan Gusti Taufik bergelar Panembahan Taufik Accamaddin.

Selengkapnya...