…..Terima Kasih Atas Kunjungan Anada di Blog Iccky…..

Monday, 8 March 2010

Kesultanan Kubu

Kesultanan Kubu adalah sebuah kesultanan yang sekarang terletak di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Tahun pendirian kesultanan ini tidak diketahui pasti. Namun, diperkirakan kesultanan ini berdiri pada abad ke-15.

Sejarah


Sejarah Kesultanan Kubu memiliki kaitan yang erat dengan sejarah Pontianak. Sejarah pantas berhutang budi kepada sekelompok kecil petualang dan saudagar Arab yang singgah di sana atas kemunculan serta tegaknya kedua Kesultanan tersebut pada awalnya. Yaitu ketika 45 penjelajah Arab yang berasal dari daerah Hadramaut di Selatan Jazirah Arab, yang pada mulanya bertujuan untuk mencari keuntungan dengan berdagang di lautan Timur-jauh (Asia) berlabuh di sana. Leluhur dan Tuan Besar (Sultan) Kesultanan Kubu pertama, yaitu Syarif Idrus Al-Idrus, adalah menantu dari Tuan Besar (Sultan) Mampawa (Mempawah). Ia Syarif Idrus juga merupakan ipar dari Sultan pertama Kerajaan Pontianak (Al-Qadri). Pada awalnya Beliau Syarif Idrus membangun perkampungan di dekat muara sungai Terentang, barat-daya pulau Kalimantan.

Sebagaimana keluarga sepupunya (Al-Qadri), Keluarga Syarif Idrus Al-Idrus (the Idrusi) tumbuh menjadi keluarga yang kaya-raya melalui perdagangan yang maju. Mereka membangun hubungan yang terjaga baik dengan Kerajaan Inggris Raya, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Sir Thomas Stanford Raffles (yang membangun Singapura), saat Raffles ditugaskan di Hindia Belanda. Hubungan ini berlanjut hingga setelah kembalinya Belanda ke Indonesia (Hindia Belanda) dan dirintisnya pembangunan pulau Singapura.

Bagaimanapun juga, hubungan ini tidak disukai oleh Kerajaan Belanda, yang secara formal mereka mengendalikan Pulau Kalimantan berdasarkan kontrak perjanjian bangsa-bangsa yang ditetapkan pada tahun 1823. beberapa keluarga Al-Idrus sempat juga mengalami perubahan kesejahteraan hidup menjadi sengsara pada masa itu. Mereka ada yang meninggalkan Kalimantan demi menjauhi sikap buruk Belanda ke daerah Serawak, yang mana waktu itu menjadi daerah territorial Kerajaan Inggris Raya, demi harapan yang lebih baik akan keberhasilan dalam perdagangan. Sedangkan Keluarga Al-Idrus yang memilin bertahan di Kubu, bagaimanapun juga, tak jua mendapatkan kehidupan serta perlakuan yang lebih baik dari pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda menurunkan Syarif Abbas Al-Idrus dari jabatan Tuan Besar Kesultanan atas dukungan sepupunya, Syarif Zainal Al-Idrus ketika terjadi perebutan jabatan Sultan pada tahun 1911. Akhirnya ia justru terbukti menemui kesulitan dalam pemerintahan serta diturun-tahtakan dengan tanpa memiliki pewaris/pengganti yang jelas, delapan tahun kemudian. Tidak adanya Pewaris tahta, baru ditetapkan dan disahkan setelah beberapa tahun kemudian. sehingga pejabat kesultanan yang ada selama kurun waktu itu hanyalah “Pelaksana sementara” (temporary ruler).

Setelah beberapa lama, akhirnya Syarif Shalih, mendapatkan kehormatan agung dari pemberi wewenang untuk menjabat sebagai Sultan, tetapi kemudian tertahan saat kedatangan tentara Jepang di Mandor, pada tahun 1943.

Dewan kesultanan dan Keluarga Bangsawan tak semudah itu menyutujui pergantian Kesultanan kepada Syarif Shalih. Hingga akhirnya justru Jepang menempatkan putra bungsu Sultan terdahulu yaitu Syarif Hasan, sebagai pemimpin Dewan Kesultanan akan tetapi belum sempat terjadi karena Jepang terlebih dulu kalah pada PD II dan meninggalkan Indonesia. Ia justru baru menerima pengesahan sebagai Pemimpin Kesultanan (Tuan Besar) Kubu pada tahun 1949, setelah Pemerintah Indonesia terbentuk. Kesultanan Kubu itu sendiri akhirnya berakhir dan menghilang ketika dihapus oleh Pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1958.

Sayyid Idrus bin Sayyid 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Tuan Besar Kubu (1772 – 1795)


Sayyid Idrus bin Sayyid 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Tuan Besar Kubu(17721795) –(lahir di Dukhum-Hadramaut Yaman, catatan sejarah menyatakan Beliau pernah singgah di Batavia bersama Al-Habib Husain bin Abubakar al-Idrus-- makamnya di Keramat Luar Batang, Jakarta Utara)-- membangun perkampungan Arab di pesisir Sungai Terentang, yang mana menjadi cikal-bakal Kesultanan Kubu pada tahun 1772. Gelar Sayyid atau Habib atau Syarif yang disandang beliau menandakan bahwa beliau termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyid Al-Imam Husain ra.

Beliau Syarif Idrus menikahi putri H.H. Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Mahmud Badaruddin I Jayawikrama Candiwalang Khalifat ul-Mukminin Sayyidul-Iman, Sultan Palembang, pada tahun 1747. Syarif Idrus wafat pada tahun 1795, penerus Beliau :

  1. Syarif Muhammad bin Syarif Idrus al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu – lihat bawah.
  2. Syarif 'Alawi bin Syarif Idrus al-Idrus, Tuan (Sultan) Ambawang (Kerajaan kecil bagian dari Kesultanan Kubu). Ia mencoba menjadikan Ambawang sebagai Kesultanan yang terpisah dari Kubu pada tahun 1800 akan tetapi tidak diijinkan oleh Pemerintah Belanda yang dideklarasikan pada tahun 1833 sebagai Kesultanan terpisah. Ia wafat di Ambawang.
  3. Syarif Abdurrahman bin Syarif Idrus (Sultan /Tuan Besar I Kubu) Al-Idrus. Syarif Abdurrahman bin Syarif Idrus Al-Idrus ini menikahi Syarifah Aisyah Al-Qadri yang merupakan putri dari Sultan Syarif Abdurrahman bin Husein Al-Qadri (Sultan I Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat). Berputra Sultan Syarif Ali Al-Idrus yang mendirikan Kesultanan Sabamban di Angsana (sekarang masuk wilayah Keramat Dermaga, Kabupaten Tanahbumbu --Kalimantan Selatan - Indonesia). Sultan Syarif Ali Al-Idrus menjabat sebagai Sultan Sabamban hingga akhir hayatnya. Jadi Keluarga Sultan Syarif Ali mempertemukan dua jalur kebangsawanan Kalimantan, yaitu dari jalur Kesultanan Kubu (Al-Idrus) dan Kesultanan Pontianak (Al-Qadri).
  4. Syarif Mustafa bin Syarif Idrus al-Idrus (Tuan Besar Kubu).
  5. Syarifa Muzayanah [dari Menjina] binti Syarif Idrus al-Idrus (Tuan Besar Kubu). Lahir pada 1748 (putri dari Putri Kerajaaan Palembang).
  6. Syarif Muhammad (17951829) ibni al-Marhum Syarif Idrus al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu.

Kerajaan Sabamban


Syarif Ali Al-Idrus, pendiri Kesultanan Sabamban yang merupakan cucu dari Sultan (Tuan Besar) Kubu -Syarif Idrus Al-Idrus ini, pada awalnya menetap di daerah Kubu-Kalimantan Barat (bersama keluarga bangsawan Kesultanan Kubu). Pada masa itu Beliau telah memiliki satu istri dan berputra dua orang yaitu : Syarif Abubakar Al-Idrus dan Syarif Hasan Al-Idrus. Karena ada suatu konflik kekeluargaan, akhirnya Syarif Ali Al-Idrus memutuskan untuk hijrah/pindah ke Kalimantan Selatan dengan meninggalkan istri dan kedua putranya yang masih tinggal di Kesultanan Kubu, melalui sepanjang Sungai Barito hingga sampai di daerah Banjar.

Di daerah Banjar tersebut, beliau mendirikan Kesultanan Sabamban dan menjadi Sultan yang Pertama, bergelar Sultan Syarif Ali Al-Idrus. Pada saat beliau menjadi Sultan Sabamban ini, Beliau menikah lagi dengan 3 (tiga) wanita; Yang pertama Putri dari Sultan Adam dari Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan, yang Kedua dari Bugis (Putri dari Sultan Bugis di Sulwesi Selatan), yang ketiga dari Bone (Putri dari Sultan Bone di Sulawesi Selatan). Pada saat beliau telah menjabat sebagai Sultan Sabamban inilah, kedua putra beliau dari Istri Pertama di Kubu-Kalimantan Barat yaitu Syarif Abubakar dan Syarif Hasan menyusul Beliau ke Angsana - Kesultanan Sabamban, dan menetap bersama Ayahandanya.

Dari Ketiga istri beliau di Banjar-Kalimantan Selatan serta satu Istri beliau di Kubu-Kalimantan Barat tersebut, Sultan Syarif Ali memiliki 12 (duabelas) putra. Putra-putra beliau yaitu : Dari Istri Pertama (Kubu-Kalimantan Barat) :

  1. Syarif Hasan bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus, putra beliau : Sultan Syarif Qasim Al-Idrus, Sultan II Sabamban menjabat sebagai Sultan setelah sepeninggal Kakeknya yaitu Sultan Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Al-Idrus, hingga akhirnya Kesultanan Sabamban ini hilang dari bumi Kalimantan Selatan.
  2. Syarif Abubakar bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus

Dari Istri ke-dua, Putri Kesultanan Banjar, Istri ke-tiga (Putri Sultan Bugis) dan Istri ke-empat (Putri Sultan Bone), menurunkan putra-putra beliau :

  1. Syarif Musthafa bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
  2. Syarif Thaha bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
  3. Syarif Hamid bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  4. Syarif Ahmad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  5. Syarif Muhammad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  6. Syarif Umar bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  7. Syarif Thohir bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  8. Syarif Shalih bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  9. Syarif Utsman bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus dan
  10. Syarif Husein bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus.

Setelah wafatnya Sultan Syarif Ali Al-Idrus, Jabatan Sultan tidak diteruskan oleh putra-putra beliau, akan tetapi yang menjadi Sultan II Sabamban adala justru cucu beliau yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus, putra dari Syarif Hasan (Syarif Hasan adalah putra Sultan Syarif Ali Al-Idrus dari Istri Pertama/Kubu, waktu Syarif Ali masih menetap di Kubu-Kalimantan Barat).

Jadi sepanjang sejarahnya, Kesultanan Sabamban ini hanya dijabat oleh dua Sultan saja, yaitu pendirinya Sultan Syarif Ali Al-Idrus sebagai Sultan I dan cucu beliau sebagai Sultan II Sabamban yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus.

Sementara itu, setelah tidak adanya lagi Kesultanan Sabamban tersebut, anak-cucu keluarga bangsawan dari keturunan Sultan Syarif Ali Al-Idrus ini, menyebar ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dan ada yang hijrah ke Malaysia, Filipina, pulau Jawa dan di belahan lain Nusantara hingga saat ini.

Syarif Muhammad (1795 – 1829)


Syarif Muhammad (17951829) ibni al-Marhum Syarif Idrus al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal dunia pada 1795. Menerima perlindungan dari Belanda saat ia menyetujui kontrak perjanjian dengan Pemerintah NEI (Hindia Belanda), 4 Juni 1823. Ia meninggal pada 7 Juni 1829, memiliki keturunan, tiga putra :

  1. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Muhammad al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar of Kubu
  2. Syarif Taha bin Syarif Muhammad al-Idrus, Kampung Sungai Pinang.
  3. Syarif Mubarak bin Syarif Muhammad al-Idrus. Menggantikan kakaknya sebagai Pemimpin di Kampung Sungai Pinang.

Syarif 'Abdu'l Rahman (1829 – 1841)


Syarif 'Abdu'l Rahman (18291841) ibni al-Marhum Syarif Muhammad al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal pada 7 Juni 1829. Menikahi Syarifa Idja. Ia meninggal pada 2 Februari 1841, memiliki keturunan, tiga putra :

  1. Syarif Ismail bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Kubu – lihat bawah.
  2. Syarif Hasan bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Kubu – lihat bawah.
  3. Syarif Kasim bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. menikahi putri dari Pangeran Syarif Hamid, Batavia. Ia memilki, seorang putra:
    1. Syarif Ismail bin Syarif Kasim al-Idrus.
  4. Syarif Aqil bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Menikahi Syarifa Jara. Ia memiliki keturunan :
    1. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Akil al-Idrus. Menikahi Syarifa Piah ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, putri kedua dari Syarif Hasan bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Ia memiliki, dua anak.
      1. Syarif Hamid bin Syarif Akil al-Idrus. Menikahi Syarifa Kamala.
      2. Syarifa Saha binti Syarif Akil al-Idrus. Menikah dengan Syarif Umar ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Putra ke-empat Syarif Hasan bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Kubu. Ia memiliki dua anak - lihat bawah.
      3. Syarifa Bunta binti Syarif Akil al-Idrus.
  5. Syarifa Saida binti Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Menikah dengan Syarif Muhammad Ba-Hasan, dan memiliki keturunan :
    1. Syarifa Saha binti Syarif Muhammad Ba-Hasan. Menikah dengan Syarif Umar Al-Qadri, of Pontianak.
  6. Syarifa Nur binti Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Menikah dengan Syarif Alawi, memiliki keturunan dua putra :
    1. Syarif 'Abdu'llah bin Syarif Alawi. Menikah dengan Syarifa Saliha, memiliki dua anak.
    2. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Alawi.

Syarif Ismail (1841 – 1864)


Syarif Ismail (18411864) ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal pada 2 Februari 1841, dilantik pada 28 Mei 1841. Memiliki beberapa istri, termasuk (yang pertama) Tengku Embong binti al-Marhum Tengku Besar Anum (d.s.p.), Putri bungsu dari H.H. Tengku Besar Anum ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Jalil Shah, Panembahan Sukadana, dengan istri keduanya, Tengku Jeba binti Tengku Ja'afar, Putri tertua dari Tengku Ja'afar bin Tengku Musa, Tengku Panglima Besar Karimata. Syarif Ismail juga menikahi (yang kedua) Syarifa Zina.

Beliau meninggal 19 September 1864, memiliki keturunan, 4 laki-laki dan 8 perempuan :

  1. Syarif 'Abdu'l Rahman ibni al-Marhum Syarif Ismail (Putra Mahkota) menikahi Syarifa Amina. Ia hilang saat pergi ke Serawak (diperkirakan meninggal dunia), pada 1866.
  2. Syarif Muhammad Zainal Idrus ibni al-Marhum Syarif Ismail, Tuan Kubu - lihat bawah.
  3. Syarif Said ibni al-Marhum Syarif Ismail. Menikahi Syarifa Zina, dan memiliki dua anak.
  4. Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Ismail. Menikahi Syarifa Marian.

Anak perempuan :

  1. Syarifa Nur binti al-Marhum Syarif Ismail. Dia meninggal sebelum 1903.
  2. Syarifa Dara binti al-Marhum Syarif Ismail, menikah dengan sepupunya, Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Putra Bungsu Syarif Hasan ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Ia memilki, 3 anak - lihat bawah.
  3. Syarifa Fatima binti al-Marhum Syarif Ismail.
  4. Syarifa Amina binti al-Marhum Syarif Ismail.
  5. Syarifa Rola binti al-Marhum Syarif Ismail. menikah dengan Syarif Mahmud, dan memiliki 3 anak.
  6. Syarifa Zina binti al-Marhum Syarif Ismail. menikah dengan Syarif Mansur, dan memiliki 1 anak.
  7. Syarifa Talaha binti al-Marhum Syarif Ismail.
  8. Syarifa Mariam binti al-Marhum Syarif Ismail.

Syarif Hasan (1864 – 1871)


Syarif Hasan (18641871) ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Kakak tertuanya pada 19 September 1864. dilantik pada 5 Maret 1866. Resmi memegang jabatan Tuan Kubu mulai 7 Juli 1871. menikah dengan Syarifa Isa. Ia meninggal pada 4 November 1900, memiliki 13 putra dan 6 putri.

Putera :

  1. Syarif Muhammad ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir sebelum 1862.
  2. Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir sebelum 1862. Ia meninggal pada waktu muda.
  3. Syarif 'Abbas ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu - lihat bawah.
  4. Syarif 'Abdu'llah ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir pada 1870. menikah dengan Syarifa Selina, dan memiliki lima anak.
  5. Syarif Yasin ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir 1872. menikah dengan Syarifa Muna, dan memiliki keturunan, 4 anak.
  6. Syarif 'Umar ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarifa Saha binti Syarif Akil al-Idrus, putri tertua Syarif Akil bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Ia memilki, dua anak.
  7. Syarif Kasim ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. DH Kubu, Mbr. of the Cncl. of Regency (Anggota Majelis Rakyat Kabupaten/DPRD) 1919-1921. menikah dengan Syarifa Kamariah. Ia meninggal pada 16 Juni 1921.
  8. Syarif Taha ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarifa Darah, dan memiliki keturunan, 2 anak.
  9. Syarif Usman ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarifa 'Isa al-Idrus.
  10. Syarif Sajaf ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  11. Syarif Husain ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  12. Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan sepupunya, Syarifa Dara, Putri kedua Syarif Ismail ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu.
  13. Syarif Zaman [Seman] ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.

Puteri :

  1. Syarifa Shaikha binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  2. Syarifa Sipa binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif 'Abu Bakar, dan memiliki keturunan, 2 anak.
  3. Syarifa Piah binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Akil al-Idrus, Putra tertua Syarif Akil bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Ia memilki, dua anak – lihat atas.
  4. Syarifa Talaha binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif Kechil, dan memiliki keturunan 2 anak.
  5. Syarifa Saida binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif Muhammad, dan memiliki keturunan dua anak.
  6. Syarifah Mani binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  7. Syarifa Kembong binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.

Syarif 'Abbas (1900 – 1911)


Syarif 'Abbas (19001911) ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Lahir 1853, Pendidikan Khusus. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal pada 4 November 1900. Dilantik pada 6 Juli 1901. Diturunkan dari tahtanya pada April 1911. memiliki beberapa istri, termasuk Syarifa Kamariah. Ia memiliki dua putra dan 10 putri .

Putera-putera:

  1. Syarif 'Abdu'l Rahman ibni al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. Lahir 1903. Ia meninggal pada usia muda..
  2. Syarif Ahmad ibni al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus [Wan Sulung]. Ia terbunuh pada 1906.

Puteri-puteri :

  1. Syarifa Inah binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.
  2. Syarifa Zubaida binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Mahmud, dan memiliki keturunan tiga anak.
  3. Syarifa Kamala binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Hamid, dan memiliki satu anak.
  4. Syarifa Buntat binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Kasim, dan memiliki satu anak.
  5. Syarifa Isa binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.
  6. Syarifa Tura binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Muhammad Zainal Idrus ibni al-Marhum Syarif Ismail al-Idrus, Tuan Besar Kubu (Lahir pada 1851), Putra kedua Syarif Ismail ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu.
  7. Syarifa Nur binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Muhammad [Mo] al-Idrus, dan memiliki satu anak.
  8. Syarifa Saliha binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif 'Umar al-Idrus.
  9. Syarifa Kuning binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.
  10. Syarifa Kebong binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.

Syarif Muhammad Zainal Idrus (1911 – 1921)


Syarif Muhammad Zainal Idrus (19111921) ibni al-Marhum Syarif Ismail al-Idrus, Tuan Besar Kubu. Lahir 1851, Putra kedua Syarif Ismail ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu, Pendidikan Khusus. Dipilih oleh Belanda untuk menggantikan sepupunya yang diturun-tahtakan sebelumnya pada 26 September 1911. Dilantik pada 15 Januari 1912. Menyerahkan menyerahkan wewenang Kesultanan kepada Dewan Kabupaten pada 1919. di-turun-tahtakan tanpa adanya pilihan pengganti pada 11 April 1921. Memiliki 3 istri, termasuk Syarifa Tura binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus, Putri ke-enam Syarif 'Abbas ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Ia memiliki, 7 putra :

  1. Syarif Mustafa ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus.
  2. Syarif Akil [Agel] ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus. Lahir 1877, Pendidikan Khusus. Menikah dengan putri Syarif Said al-Idrus pada 1900. Ia memiliki 3 putra :
    1. Syarif 'Usman ibni al-Marhum Syarif Akil al-Idrus.
    2. Syarif Tani ibni al-Marhum Syarif Akil al-Idrus.
    3. Syarif Mohsen [Mukhsin] ibni al-Marhum Syarif Akil al-Idrus.
  3. Syarif Ja'afar ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus.
  4. Syarif Husain ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus (putra dari istri pertama).
  5. Syarif Hasan ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus, Tuan Besar of Kubu (putra dari istri kedua)- lihat bawah.
  6. Syarif 'Usman ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus (putra dari istri ke-tiga).
  7. Syarif Salim ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus.

Syarif Salih (1921 – 1943)


Syarif Salih (19211943) ibni al-Marhum Idrus al-Idrus, Tuan Besar Kubu. Lahir 1881, Pendidikan khusus. Dipilih oleh Belanda, bersama Dewan Kesultanan, dikenal sebagai Senior Mbr. of the Cncl. of Regent 1919 (Anggota Senior Dewan Rakyat Kabupaten). Menjadi Asisten Bupati pada 16 Juni 1921. Dikenal sebagai Pelaksana Sementara Kesultanan, pada September 1921. Dilantik pada 7 Februari 1922. Ditangkap oleh Jepang pada 23 November 1943. Menerima: Knt. of the Order of Orange-Nassau (17.8.1940) Gelar Ksatria-Bangsawan dari Kerajaan Belanda (17 Agustus 1940), dan Lesser Golden Star for Loyalty dan Merit (Gelar Pengabdian dan Jasa Luar Biasa dari Kerajaan Belanda). Ia dibunuh (dipancung) oleh tentara Jepang di Mandor pada 28 Juni 1944, memiliki dua putra :

  1. Syarif Yahya ibni al-Marhum Syarif Salih al-Idrus. Ia memiliki putra :
    1. Syarif Hamid bin Syarif Yahya al-Idrus.
    2. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Yahya al-Idrus.
  2. Syarif Husain bin Syarif Salih al-Idrus. Excluded from the succession because of physical dan mental incapacity. Ia memiliki seorang anak :
    1. Syarif Yusuf bin Syarif Husain al-Idrus. (Mbr. of the Cncl. of Regency (Anggota Senior Dewan Rakyat Kabupaten) 1946).

Syarif Hasan (1943 – 1958)


Syarif Hasan (19431958) ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus, Tuan Besar of Kubu, Pendidikan: HIS Pontianak. Menjadi Ketua bestuur comite oleh Jepang pada tahun 1943. Dilantik sebagai Pemimpin Dewan Rakyat Daerah (Cncl. of Regency/DPRD) pada 1946. Terpilih sebagai head of the self-governing monarchy (Pemimpin Kerajaaan-kerajaan di Indonesia) pada 16 August 1949. Diturunkan dari tahtanya saat Kesultanan Kubu dihapus oleh Pemerintah RI pada tahun 1958.



Nasab Bani Alawi - al-Husaini


Bani Alawi ialah gelar marga yang diberikan kepada mereka yang nasab-nya bersambung kepada Sayyid Alawi bin Ubaidullah (Abdullah) bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Ahmad bin Isa Al-Muhajir telah meninggalkan Basrah di Iraq bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya pada tahun 317H/929M untuk berhijrah ke Hadhramaut di Yaman Selatan. Cucu Ahmad bin Isa yang bernama Alawi, merupakan orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh itu anak-cucu Alawi digelar Bani Alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Bani Alawi atau Ba'Alawi juga ialah bertujuan memisahkan kumpulan keluarga ini daripada cabang-cabang keluarga yang lain yang juga keturunan dari Nabi Muhammad SAW.

Bani Alawi (Ba 'Alawi) juga dikenali dengan kata-nama Sayid (jamaknya: Sadah) atau Habib (jamaknya: Haba'ib) atau Syarif (jamaknya: Asyraf, khusus bagi bangsawan/ningrat-nya). Untuk kaum wanitanya dikenal juga dengan sebutan Syarifah. Keluarga yang bermula di Hadhramaut di negara Yaman ini, telah berkembang dan menyebar, dan saat ini banyak diantara mereka yang menetap di segenap pelosok dunia baik Arab, Indonesia, Asia Tenggara, India, Afrika dan lainnya.

Gelar dan Istilah


Putra Mahkota/Pangeran : Syarif (atau Sayyid) (nama pribadi) ibni al-Marhum Syarif (atau Sayyid) (nama bapaknya) Al-Idrus (nama marga/keluarga), Tuan Besar Kubu (aslinya: Yang di-Pertuan Besar).

Anggota laki-laki keluarga Kesultanan yang lain, keturunan pada garis Bapak: Syarif (atau Sayyid) (nama pribadi) ibni Syarif (or Sayyid) (nama bapaknya) Al-Idrus (nama marga/keluarga).

Anggota wanita keluarga Kesultanan, keturunan pada garis bapak: Syarifah (nama pribadi) binti Syarif (atau Sayyid) (nama bapaknya) Al-Idrus (nama marga/keluarga).

Aturan Suksesi (Pergantian)


Pemilihan Raja dijalankan oleh Dewan Kesultanan (Council of the State) dan Anggota Senior dari Keluarga kebangsawanan yang menjabat Mufti/Qadhi (Ruling House).

Referensi


Sumber


  • Maktab Ad-Daimy, Badan Pencatatan Nasab Bani Alawi – Al-Husaini, Rabithah Alawiyah Pusat, Jakarta–Indonesia, Attn: Habib Zainal Abidin Seggaf As-Seggaf (Ketua) dan Habib Abubakar Seggaf As-Seggaf (Wakil), Buku Data Nasab Bani Alawi-Al-Husaini, No. 1, hlm. 149, (Jakarta: Maktab ad-Daimy), 1997
  • Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali Bin Yahya dan Team Penulis Panitia Muktamar ke-10 Jam’iyah Ahli Al Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah 1426H/2005 M - Pekalongan, Mengenal Thariqah – Panduan Pemula Mengenal Jalan Menuju Allah; Last Chapter, Sekilas Tentang Thariqah Alawiyah, (Jakarta: Aneka Ilmu), 2005
  • http://www.asyraaf.com (Telaah Kitab Al-Mu'Jamul Lathif halaman 140-141, tentang Qabilah Marga Al-Idrus)
  • Al-Habib Muhammad bin Abubakar Asy-Syalli Ba-‘Alawy, As-Syaikh Al-Akbar Abdullah Al-Idrus dalam Al-Masyra' Ar-Rawiy fi Manaqib As-Sadah Al-Kiram Bani Alawiy, tt
  • Sayyid Ahmad bin Muhammad As-Syathiri, Sirah As-Salaf Min Bani 'Alawiy Al-Husainiyin, (Jeddah: dicetak oleh Alam Ma'rifah), 1405H/1984
  • Prof Dr. HAMKA, Soal Jawab Agama Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru), 1978.
  • Ronald Lewcock, Wadi Hadhramaut and The Walled City of Shibam, UNESCO, 1986
  • Daniel van der Meulen dan H. Von Wissmann, Hadramaut -Some of Its Mysteries Unveiled
  • J. P. J. Barth, Overzicht der afdeeling Soekadana, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen. Deel L, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Albrecht & Co., Batavia, 1897.
  • J.J.K. Enthoven, Bijdragen tot de Geographie van Borneo's Wester-afdeeling. E.J. Brill, Leiden, 1903.
  • H. von Dewall, "Matan, Simpang, Soekadana, de Karimata-eilanden en Koeboe (Wester-afdeeling van Borneo)", Tijdschrisft voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel XI, Vierde Serie Deel II, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia, 1862.


Selengkapnya...

KERAJAAN TANJUNGPURA

Kerajaan Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di propinsi Kalimantan Barat yang terletak di Kabupaten Ketapang Kejayaan Kerajaan ini pada abad-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura adalah propinsi Singasari yang semula bernama Bakulapura. Nama bakula berasal dari Bahasa Sansekerta artinya pohon tanjung (= mismunop alengi), sehingga Bakulapura mendapat nama Melayu menjadi Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting yaitu mencakup propinsi Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Tengah.
Kemudian Tanjungpura menjadi sebuah propinsi Majapahit, kemungkinan nama Tanjungpura sudah menjadi umum untuk sebutan pulau Kalimantan. Selepas mangkatnya Gajah Mada kemungkinan ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas hingga Karasikan (Kerajaan Tidung) di perbatasan Kalimantan Timur-Sabah dengan rajanya seorang dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh Ciptasari/Putri Ratna .Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (= Bhre Tanjungpura I?) digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura II?). Raden Sekar Sungsang putera Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura III?) memindahkan ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Giri. Ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton. Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumper II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajah Mada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.

Perpindahan ibukota kerajaan

Ibukota kerajaan beberapa kali mengalami perpindahan dari satu kota ke kota lainnya. Perpindahan ini karena adanya musuh atau perompak bajak laut yang dikenal juga dengan "Lanon". Konon menurut cerita bajak laut tersebut sungguh ganas, sehingga merajalela di seluruh pelosok daerah. Kerajaan Tanjungpura yang juga dikenal sebagai kerajaan besar juga menjadi incaran kerajaan lain yang bernafsu untuk menaklukannnya, oleh karena itu berpindah pindah adalah dalam rangka mempertahankan diri.
Berpindahnya ibukota kerajaan dari satu tempat ketempat lainnya dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang bertebaran di bekas ibukota kerajaan tersebut.

Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana

Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Raja Muhamamad Zainudin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.
Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.

Kerajaan Indralaya

Di Kecamatan Sandai bukti adanya kerajaan Indralaya, dengan ditemukannya makam raja yang berada di sebuah bukit di Kota Sandai. Menurut warga setempat, makam raja ini sudah sejak lama ada entah sejak kapan. Beberapa tokoh kerajaan Tanjungpura dari Indralaya ini dimakamkan disini. Memang tidak bisa diketahui secara pasti nama-namanya karena makam kuno tersebut sudah begitu tua sehingga tulisan yang ada di makam tersebut sulit dibaca. Konon ibu dari Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie raja Kesultanan  Pontianak juga dimakamkan di tempat ini. Makam kuno peninggalan kerajaan Tanjungpura juga terdapat di sungai Muara kayong, juga di Sei Kelik kecamatan Nanga Tayab, yang diduga disebut sebagai negeri Kartapura.

Penggunaan nama kerajaan

Saat ini nama kerajaan ini diabadikan sebagai nama universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam VI/Tanjungpura
Selengkapnya...

SEJARAH KESULTANAN SAMBAS

Kesultanan Sambas adalah kerajaan yang terletak di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di Kota Sambas. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1675 M, di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri Kerajaan-Kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan Kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :
  1. Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
  2. Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
  3. Panembahan Sambas pada abad 16 M.
  4. Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas berumula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598 M, maka kemudian putra Baginda yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629 M, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil (Kota Kuching sekarang ini), Baginda Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Baginda Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Baginda Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal rombongan Baginda Sultan Tengah ini dihantam badai yang sangat dahsyat. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam, setalah badai mereda, kapal Baginda Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi Sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir Makkah) yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana ini, setelah melihat perawakan dan kepribadian Baginda Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita yang bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan Kesultanan Sukadana. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil Johor (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah rombongan Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan alat senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencono (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencono ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahkan gelaran Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Keraton Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Aryo Mangkurat.
Tidak lama setelah kelahiran cucu Baginda Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke Negerinya yang telah begitu lama di tinggalkannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652 M.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu disuatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas. Namun demikian luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di sholatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahandanya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Aryo Mangkurat. Tentangan dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut hindu itu sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam sehingga Raden Sulaiman ini semakin dibenci oleh Raden Aryo Mangkurat.
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Aryo Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat dengan ulah adiknya itu. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan Ayahandanya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda)telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama gelaran Abang dari Ibundanya (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan 3 buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muare Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 M itu hingga berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas pada tahun 1956 M atau sekitar 250 tahun.

Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Banjar

Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Sambas sebagai salah satu negeri yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada. Sedangkan menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata (= Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa), pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, raja Sambas sudah menjadi taklukannya. Sambas dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan. Pada masa pemerintahan Sultan Banjar ke-4 Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1620, raja Sambas atau Dipati Sambas [= Ratu Sepudak?] demikian Sultan Banjar menyebutnya [artinya gubernur Sambas, karena dianggap martabatnya di bawah Sultan Banjar] telah datang ke Kesultanan Banjar untuk mempersembahkan upeti berupa dua biji intan dan barang-barang lainnya. Intan yang satu ada sedikit bercak kotor ukurannya sebesar buah tanjung dinamakan Si Giwang, sedangkan yang sebuah lagi berukuran sebesar telur burung dara dinamakan Si Misim. Sejak saat itulah Sambas tidak lagi disuruh menyerahkan upeti tiap-tiap tahun, tetapi hanya jika saat-saat Sultan Banjar menyuruh mengirimkan barang yang dikehendakinya maka jangan tidak dicarikan barang tersebut. Belakangan kemudian intan Si Misim dipersembahkan oleh Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah kepada Sultan Mataram (= Sultan Agung), sebagai suatu bentuk perhambaan Kalimantan kepada pemerintahan Jawa yang diperbaharui. Semenjak mangkatnya raja Demak terakhir, Sultan Trenggono, Banjarmasin tidak pernah lagi mengirim upeti kepada pemerintahan Jawa. Diduga, karena kegagalan Banjar membayar upeti kepada pemerintahan Jawa (Mataram), Sultan Inayatullah dan putra mahkota (Ratu Bagus) sempat ditawan di Tuban, sedangkan yang naik tahta kemudian adalah Marhum Panembahan menggantikan ayahnya (Inayatullah), ketika itu Ratu Bagus masih ditawan di Tuban. Belakangan Marhum Panembahan mengirim utusan untuk menyerahkan intan Si Misim dan barang lainnya seperti lada, rotan, tudung dan lilin. Sebagai utusan cucundanya sendiri yaitu Pangeran Dipati Tapasana [yang ibundanya orang Jawa] beserta mangkubumi Kiai Tumenggung Raksanagara dan seorang menteri Kiai Narangbaya disertai dua ratus pengiring.

Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Brunei Darussalam

Sejarah tentang asal usul Kesultanan Sambas tidak bisa terlepas dari Kesultanan Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada abad ke-13, di Negeri Brunei Darussalam, bertahta seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad Shah / Awang Alak Betatar. Sultan Muhammad Shah ini merupakan Raja Brunei pertama yang memeluk Islam, Sultan Brunei ke-1. Setelah Baginda wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Adindanya yaitu Pateh Berbai yang kemudian bergelar Sultan Achmad. Istri (Permaisuri) dari Sultan Achmad ini adalah anak Kaisar China. Dari hasil pernikahan ini Sultan Achmad hanya dikaruniai satu-satunya anak perempuan yang bernama Putri Ratna Kesuma. Pada akhir abad ke-14 M (sekitar tahun 1398 M) datang di Kesultanan Brunei pada masa Sultan Achmad ini seorang pemuda Arab dari negeri Thaif (dekat Kota Suci Makkah) yang bernama Syarif Ali.
Syarif Ali ini adalah mantan Amir Makkah (semacam Sultan Makkah)yang melarikan diri dari Makkah melalui Thaif menyusul terjadinya perebutan kekuasaan Tahta Amir Makkah dengan saudara sepupunya yang kemudian membuat posisi Amir Syarif Ali ini terpojok dan terancam jiwanya sehingga kemudian ia melarikan diri ke Aden (wilayah Yaman sekarang). Dari Aden Syarif Ali terus pergi ke India Barat, dari India Barat terus ke Johor dan dari Johor lalu ke Kesultanan Brunei yaitu dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang memerintah Kesultanan Brunei. Syarif Ali ini adalah keturunan langsung dari Amir Makkah yang terkenal di Jazirah Arabia yaitu Syarif Abu Nu'may Al Awwal, dimana Syarif Abu Nu'may Al Awwal ini adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yaitu Amirul Mukminin Hasan Ra. Hal ini sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang masih di temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei ketiga, adalah pancir (keturunan) dari Cucu Rasulullah, Amirul Mukminin Hasan Ra." Karena saat itu masyarakat negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali yang mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul Islam kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan Brunei di masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif Ali di Kesultanan Brunei semakin kuat seiring dengan kuatnya antusiasme masyarakat Brunei saat itu dalam mempelajari Islam. Posisi Syarif Ali di Kesultanan Brunei ini kemudian menjadi semakin kuat lagi yaitu setelah Sultan Achmad menjodohkan Putri satu-satunya yaitu Ratna Kesuma dengan Syarif Ali.
Pada saat Sultan Achmad sudah semakin tua dan mulai memikirkan penggantinya dan saat itu pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar sekaligus menantu Sultan Achmad Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan istana dan masyarakat Brunei, maka kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif Ali sebagai Sultan Brunei berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul ini kemudian di setujui oleh Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh masyarakat Kesultanan Brunei saat itu sehingga kemudian diangkatlah Syarif Ali sebagai Sultan Brunei ke-3 menggantikan Sultan Achmad (Sultan Brunei ke-2) dengan gelar Sultan Syarif Ali.
Setelah memerintah sekitar 7 tahun sebagai Sultan Brunei, pada tahun 1432 M Sultan Syarif Ali wafat dan kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman, Sultan Brunei ke-4. Sultan Sulaiman memerintah sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia lebih dari 100 tahun. Setelah wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar Sultan Bolkiah yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M. Pada masa Sultan Bolkiah ini Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir seluruh Pulau Borneo / Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar sebagai Sultan Brunei ke-6. Sultan Abdul Kahar kemudian digantikan oleh keponakannya (anak laki-laki dari Adindanya yang laki-laki) yang kemudian bergelar Sultan Syaiful Rijal (Sultan Brunei ke-7). Pada masa Sultan Syaiful Rijal inilah terjadinya pertempuran hebat antara Kesultanan Brunei dengan armada pasukan Spanyol yang menyerang Kesultanan Brunei, namun berhasil dihalau oleh pasuka Kesultanan Brunei saat itu. Sepeninggal Sultan Syaiful Rijal, ia kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung bergelar Sultan Shah Brunei (Sultan Brunei ke-8). Sultan Shah Brunei ini tidak lama memerintah yaitu hanya setahun, wafat yang kemudian digantikan oleh Adindanya yaitu anak laki-laki Sultan Syaiful Rijal yang kedua dan bergelar Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) yang memerintah dari tahun 1598 sampai 1659.
Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M dan kemudian digantikan oleh putranya yang sulung bergelar Sultan Abdul Jalilul Akbar(Sultan Brunei ke-10). Sultan Abdul Jalilul Akbar mempunyai saudara kandung laki-laki yang bergelar Pangeran Muda Tengah. Pangeran Muda Tengah ini dikenal sebagai pemuda yang cerdas, gagah berani dan tampan sehingga kemudian setelah Sultan Abdul Jalilul Akbar memerintah selama puluhan tahun yaitu pada sekitar tahun 1621 M, timbul isu yang berkembang di Kesultanan Brunei saat itu bahwa Pangeran Muda Tengah lebih pantas untuk menjadi Sultan Brunei dibandingkan dengan Kakandanya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang sedang memerintah saat itu. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya perebutan Tahta Kesultanan Brunei, Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar kemudian membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei masa itu yaitu Tanah Sarawak untuk diberikan kepada Adindanya yaitu Pangeran Muda Tangah agar Adindanya itu dapat menjadi Sultan di Sarawak. Usul Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar ini kemudian diterima oleh Pangeran Muda Tengah.
Maka kemudian berhijrahlah Pangeran Muda Tengah dari Negeri Brunei beserta orang-orangnya yang terdiri dari sebagian pemuka-pemuka Kesultanan Brunei saat itu dengan membawa 1000 orang Sakai sebagai pasukan dan hulu balang. Selepas itu setelah menyiapkan segala sesuatunya maka kemudian pada tahun 1625 M berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah sebagai Sultan Sarawak yang pertama bergelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah dengan pusat pemerintahan di sekitar Kota Kuching sekarang ini. Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ini kemudian lebih populer dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja Tengah yaitu mengambil dari gelar asalnya yaitu Pangeran Muda Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kesultanan Sukadana pada tahun 1629 M.
Karena prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan Tengah ini sangat baik dan unggul sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) sangat bersimpati dengan Baginda Sultan Tengah sehingga kemudian Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma. Dari perkawinan ini terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sulaiman.Karena sebab tertentu yang menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat Malaka saat itu maka sejak menikah dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan Tengah beserta orang-orangnya memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana selama beberapa waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana hingga kemudian dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang anak yaitu Sulaiman, Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.
Tidak berapa lama setelah kelahiran anaknya yang ke-5 (Ratna Wati), Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah dari Kesultanan Sukadana menuju tempat kediaman baru di wilayah Sungai Sambas, sambil masih menunggu keadaan aman di wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah Sungai Sambas saat itu diperintah oleh seorang Raja yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Sapudak. Kerajaan Panembahan Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih hindu walaupun Ulama Islam telah pernah berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak, dengan pusat pemerintahan di tempat yang sekarang disebut dengan name Kota Lama, Kecamatan Teluk Keramat sekitar 36 km dari Kota Sambas. Baginda Sultan Tengah beserta rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan untuk tinggal di wilayah Panembahan Sambas ini.
Di Sambas inilah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya menetap yaitu ditempat yang sekarang bernama Kembayat hingga kemudian anaknya yang sulung yaitu Sulaiman beranjak dewasa. Setelah dewasa, Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga Sulaiman dianugerahi gelaran "Raden" menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas, mendirikan kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M. Melalui Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan Sambas berikutnya secara turun temurun hingga sekarang ini.
Info Tambahan:
Zuriat dari SULTAN MOHAMMAD HASSAN (Sultan ke-9 Brunei) lahirlah;
1. Sultan Jalilul-Akbar (Anak Sulong)-Keturunannya sehingga ke DYMM Sultan Hassanal Bolkiah kini. 2. Sultan Muhammad Ali -Menjadi Sultan di Brunei tidak beberapa lama & wafat kerana dibunuh. 3. Pangiran Raja Tengah -Telah dihantar menjadi Sultan di Sarawak (Anakandanya Raden Sulaiman kemudian menjadai Sultan Sambas) 4. Puteri Nurul A'lam - Telah menjadi isteri Sultan Ahmad Shah ke-? (Pahang) 5. Pangeran Shahbandar Maharajalela @ Raja Bongsu-I -Telah dihantar menjadi Sultan di Sulu & Bergelar Sultan Mawalil-Wasit-I @ Raja Bongsu-I (Dari baginda ini lah lahirnya Keeluarga Diraja Sulu, iaitu Keluarga Kiram, Shakiraullah & Keluarga Maharajah Adinda). Seorang zuraiat keturunan Raja Bongsu-I ini kini adalah bergelar "Raja Muda Raja Bongsu-II ibni Sultan Aliuddin Haddis Pabila" dari Keluarga Maharajah Adinda.

Panembahan Ratu Sepudak

Panembahan Ratu Sepudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas". Ratu Sepudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah sebelumnya terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh kudeta rakyat dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal Ayahandanya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayahanda Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahandanya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.

Kesultanan Sambas

Setelah sempat singgah di Kota Bangun selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan nama Kota Bandir.
Selama Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota Bandir, dari hari kehari semakin banyak orang-orang dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir. Larinya penduduk Kota Lama ini karena tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu Anom Kesumayuda yaitu Raden Aryo Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan kekacauan di dalam negeri Panembahan Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari penduduk Kota Lama semakin sedikit sebaliknya penduduk Kota Bandir semakin banyak.
Setelah lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan rombongan besar pengikutnya sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian mencari tempat menetap baru di Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom Kesumayuda tidak sanggup mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo Mangkurat yang banyak membuat kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu Anom Kesumayuda. Untuk itu Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan kekuasaannya atas wilayah Sungai Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan mandat) kepada Raden Sulaiman untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai Sambas. Raden Sulaiman kemudian meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda atas penyerahan kekuasaan atas wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti oleh Ratu Anom Kesumayuda dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti berupa 3 buah meriam lela.
Sekitar 3 tahun setelah menerima mandat ini dan setelah berembuk dengan orang-orangnya serta mempersiapkan segala sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya namun bukan berpusat di Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru muara Sungai Teberrau yang disebut dengan nama Lubuk Madung. Maka kemudian pada tahun 1675 M berdirilah kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas berpusat di Lubuk Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Gelar ini mengikuti gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).
Dalam perkembangan awalnya lingkungan di pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang baru berdiri ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas yang telah masuk Islam ini sehingga kemudian adat istiadat di lingkungan Keraton Kesultanan Sambas saat itu didominasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa seperti penamaan gelar-gelar Kebangsawanan dan nama-nama keluarga Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa. Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang mana kedua suku bangsa ini telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di sekitar wilayah Sungai Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian membentuk masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.
Selama menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan negeri-negeri leluhurnya yaitu Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Kesultanan Sukadana adalah leluhur dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik dari Sultan Sukadana yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika) sedangkan Kesultanan Brunei adalah leluruh dari pihak Ayahandanya yaitu Sultan Tengah (anak dari Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga kemudian pada masa pemerintahan Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I ini terjalin hubungan yang sangat akrab dan baik antara Kesultanan Sambas dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sukadana disamping juga mengembangkan hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Kerajaan Landak dan Kesultanan Trengganu di Semenanjung Melayu.
Setelah hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden Bima yang sudah dewasa untuk menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas berikutnya. Maka Raden Bima kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Di Kesultanan Sukadana Raden Bima kemudian menikah dengan adik dari Sultan Sukadana saat itu yaitu Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Putri Ratna Kesuma. Dari pernikahan ini Raden Bima memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mulia atau Meliau. Dari Kesultanan Sukadana Raden Bima pulang ke Kesultanan Sambas dan kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Brunei.
Di Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat mesra dari Sultan Brunei saat itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat kebesaran kerajaan diberikan Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut anugrah gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan Ayahandanya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa itu.
Sekembalinya Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I telah memerintah Kesultanan Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian pada tahun 1685 M, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin. Gelaran sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh Sultan Brunei yaitu Baginda Sultan Muhyiddin.
Sekitar satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama "Muare Ulakkan" yaitu pada sekitar tahun 1687 M. Muare Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah.
Dari sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas secara terus menerus selama sekitar 250 tahun hingga berakhirnya Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.

Pangeran Anom

Pangeran Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu. Ketika Ayahnya (Sultan Umar Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2 pemerintahannya, maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar Aqamaddin II yang ke-2.
Pangeran Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I.
Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas. Kongsi-Kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok beradasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan oleh Sultan Sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara, Lumar dan kemudian juga Pemangkat.
Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas dimana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).

Pangeran Adipati

Pangeran Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855 M)telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II) Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di Kesultanan Sambas pada tahun 1819 M, namun saat itu Sultan Sambas masih mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq). Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II). Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim. Setelah Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut usia, maka kemudian diangkatlah anaknya yaitu Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.

Kedatangan Jepang

Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Baginda Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan Jepang ini yaitu bersama dengan sebagian besar Raja-Raja lainnya yang ada di wilayah Borneo {Kalimantan) barat ini di bunuh pasukan Jepang di daerah Mandor. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah Sultan Sambas yang terakhir. Setelah Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin terbunuh oleh Jepang, pemerintahan Kesultanan Sambas dilanjutkan oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas hingga kemudian dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia, pada tahun 1956 M, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Negara Republik Indonesia itu.

Peninggalan Kesultanan Sambas

Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14 serta sebagian alat-alat kebesaran Kerajaan seperti tempat tidur Sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan 2 buah kaca kristal dari Kerajaan Perancis dan Belanda. Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah Borneo (Kalimantan) Barat ini baik di Kota Sambas, Singkawang dan Pontianak yang sebagiannya masih menggunakan gelaran Raden.

Sultan-Sultan Sambas

Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :
  1. Sultan Muhammad Shafiuddin I bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ( Sultan Tengah ) (1675 - 1685)
  2. Sultan Muhammad Tajuddin bin Sultan Muhammad Shafiuddin I (1685 - 1708)
  3. Sultan Umar Aqamaddin I bin Sultan Muhammad Tajuddin (1708 - 1732)
  4. Sultan Abubakar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin I (1732 - 1764)
  5. Sultan Umar Aqamaddin II bin Sultan Abubakar Kamaluddin (1764 - 1786) dan (1793 - 1802)
  6. Sultan Achmad Tajuddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1786 - 1793)
  7. Sultan Abubakar Tajuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1802 - 1815)
  8. Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815 - 1828)
  9. Sultan Usman Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1828 - 1832)
  10. Sultan Umar Aqamaddin III bin Sultan Umar Aqamaddin II (1832 - 1846)
  11. Sultan Abu Bakar Tajuddin II bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1846 - 1854)
  12. Sultan Umar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin III (1854 - 1866)
  13. Sultan Muhammad Shafiuddin II bin Sultan Abubakar Tajuddin II (1866 - 1924)
  14. Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1924 - 1926)
  15. Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
  16. Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
  17. Pangeran Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
  18. Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 hingga sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.

Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di Kesultanan Sambas

  • Seluruh Sultan Sambas disamping mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II dan lainnya.
  • Sultan dengan sebutan penghormatan: Sri Paduka al-Sultan Tuanku (gelar Sultan) ibni al-Marhum (nama dan gelar bapak), Sultan dan Yang di-Pertuan Sambas, dengan panggilan Yang Mulia.
  • Sultan yang mengundurkan diri dari Tahta mempunyai sebutan kehormatan "Yang Dipertuan Sultan" dan menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi Sultan misalnya : Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
  • Permaisuri: Sri Paduka Ratu (gelar).
  • Putra Mahkota (Pewaris Resmi Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan "Sultan Muda" atau "Pangeran Ratu" atau "Pangeran Adipati" namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak laki-laki sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama "Anak Gahara".
  • Anak Sulung Sultan dari istri bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran Muda".
  • Dibawah Sultan Sambas terdapat 4 Jabatan Wazir dengan sebutan kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu : Wazir I bergelar Pangeran Bendahara Sri Maharaja, Wazir II bergelar Pangeran Paku Negara, Wazir III bergelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma dan Wazir IV bergelar Pangeran Laksmana. Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab yang sama.
  • Dibawah Wazir terdapat Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" yang diantaranya bergelar Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja dan lainnya.
  • Dibawah Pangeran terdapat Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" namun tidak mempunyai nama gelaran jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
  • Anak-anak dari Pangeran, Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya mempunyai sebutan kehormatan "Raden".
  • Anak-anak dari Raden mempunyai sebutan kehormatan "Urai". "Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu pengangkatan secara resmi oleh Sultan.

Selengkapnya...