Borneo Tribune, Mandor
Setelah kunjungan tanggal 22 Juni 2008, pada tanggal 24 Juni Saya kembali ke Komplek Makam Juang Mandor (kini bernama Monumen Daerah Mandor sesuai Perda No 5 Tahun 2007, red), kali ini misi Saya sederhana saja, ingin mengenalkan situs sejarah perjuangan Mandor ini kepada anak anak.
Sebenarnya mereka sudah beberapa kali diajak singgah ke makam yang heroik dan penuh para pejuang ini, namun kali ini saya ingin mereka mendatanginya dari sisi sejarah perjuangan Bangsa Indonesia khususnya di Kalbar.
Kami sampai di areal jam 13.30, saat itu matahari bersinar terik sekali.
Segera Saya menemui Pak Samad, penjaga makam, memperkenalkannya dengan anak anak dan berbincang sejenak.
Saat itu sempat Saya berikan pesawat HP (hand phone, red) agar bisa berkomunikasi dengan Nur Iskandar, Pimred Borneo Tribune di Pontianak, untuk berjomunikasi soal hasil pertemuan “Mandor Meeting” yang digelar bersama stakeholder di The Roof Cafe, Jumat (20/6) sebelumnya.
Terdengar komunikasi antara Pak Samad dan Nur Iskandar intens. “Iya. Ya, bagus itu. Baguslah kalau begitu,” komentar Pak Samad yang sempat Saya rekam.
Kepada Saya, Pak Samad mengatakan bahwa Nur Iskandar menceritakan hasil-hasil pertemuan di kalangan keluarga korban maupun wakil-wakil pemerintah. “Baguslah jika Tribune Institute dipercaya untuk membuat perencanaan yang menyeluruh mengenai HBD,” ujar Pak Samad meberikan kesimpulannnya.
Setelah minta ijin dan meminjam kunci untuk membuka gembok di jalan masuk menuju areal pemakaman, Saya mengajak anak anak menuju diorama kejadian Mandor yang melukiskan berbagai adegan peristiwa Mandor.
Mulanya ada keengganan anak anak untuk berpindah dari nyamannya kesejukan AC (Air Conditioner, red) mobil ke lapangan terbuka dan disengat sinar matahari, namun begitu Saya mulai bercerita tentang peristiwa Mandor sambil menjelaskan adegan demi adegan yang terdapat pada relief di dinding semen, segera anak anakku takjub, tengelam dalam perenungan alam pemikirannya. Kemudian berbagai pertanyaan mulai muncul dari mulut mereka yang mungil.
“Pa, mengapa Ibu penjual buah ini ditendang Jepang? Apa salahnya?”
“Lihat Pa! Dua ekor ayam ini mau diinjak Jepang ....“
“Papa! Bapak yang pakai kacamata itu dokter ya? Dion lihat ada stetoskop yang di pakainya.”
“Papa...lihat ada orang yang di injak injak ....”
Pada saat sampai di akhir kisah Saya sampaikan setelah Negara Jepang kena bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika dan sekutu, kekuatan Jepang berkurang dan akhirnya Jepang menyerah. Tapi sebagian rakyat Kalbar telah dibunuh oleh Jepang karena mereka ingin men-Jepang-kan Kalbar. Para tokoh yang melawan ditangkap dan disiksa. Sebagian dibunuh di tempat ini.
“Papa, Dion mau lihat ada tidak Jepang yang dibunuh oleh pejuang kita!?”
Tuh yang botak dan tengkurap itu ... tunjuk Saya pada relief yang terakhir.
Kemudian kami masuk ke dalam mobil untuk mengunjungi lubang lubang pemakaman massal karena jarak satu makam ke makam yang lainnya cukup jauh. Menurut data Kecamatan Mandor, daerah makam berada di lokasi cagar alam yang luasnya 3.080 hektar.
“Papa, lihat ada korban Jepang yang wartawan!” seru Dion yang membaca papan pengumuman di bagian depan rumah Pak Samad, yang memuat sebagian kecil data korban berikut keterangan profesinya. Dion tampak semakin takjub dan paham bahwa sampai wartawanpun jadi korban keganasan Jepang saat itu.
“Papa nanti kalo ada artis Jepang kita tinju ya!” cetus anakku Dion tiba tiba. Jhas celetukan anak-anak.
Dia pengemar Power Ranger dan Doraemon yang notabene film seri buatan Jepang. Entah apa yang melintas dalam pikirannya soal tinju itu—apakah nasionalisme atau dendam ala anak-anak—segera Saya menjelaskan bahwa meninju artis Jepang itu bukan tindakan yang baik. Mereka juga tidak tahu dan belum tentu setuju dengan tindakan serta kekejaman tentara Jepang masa lalu.
“Kita datang ke sini untuk belajar sejarah, bukan untuk membuka dendam kepada siapapun,” kata Saya.
Saya lantas kuatir bahwa tujuan utama untuk memberikan informasi sejarah perjuangan Kalbar kepada anak Saya malah menghasilkan perasaan dendam pada benaknya kepada Jepang. Semoga tidak.
Kita memang pantas marah dengan kekejaman Jepang yang menelan satu generasi rakyat Kalbar sejumlah 21.037 jiwa, namun bukan dendam negatif, tetapi memetik nilai-nilai kejuangannya untuk membangun Kalbar secara bersama-sama dengan semangat pluralisme lokal, nasional dan internasional.
Dalam kunjungan ini Saya kuatir jika kemarahan anak anak Saya bertambah dengan penjelasan Saya bahwa hamparan pasir putih di sisi kiri jalan menuju makam 1 adalah akibat pertambangan emas liar dan bahwa sebenarnya kita sendiri kurang menunjukkan kemampuan untuk menghargai pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang terkubur di sini, namun mereka hanya diam saja ... entah apa yang ada di dalam benak mereka.
Dalam beberapa hari ini, masih ada berbagai pertanyaan yang muncul dari anak anak Saya sehubungan dengan Makam Mandor, umumnya minta diceritakan kembali kejadian Mandor, oleh karena itu Saya mendambakan adanya sebuah buku berupa komik yang bercerita tentang Tragedi Mandor dan sejarah perjuangannya, pasti Saya akan jadi pembeli yang pertama untuk anak anakku.
Setelah kunjungan tanggal 22 Juni 2008, pada tanggal 24 Juni Saya kembali ke Komplek Makam Juang Mandor (kini bernama Monumen Daerah Mandor sesuai Perda No 5 Tahun 2007, red), kali ini misi Saya sederhana saja, ingin mengenalkan situs sejarah perjuangan Mandor ini kepada anak anak.
Sebenarnya mereka sudah beberapa kali diajak singgah ke makam yang heroik dan penuh para pejuang ini, namun kali ini saya ingin mereka mendatanginya dari sisi sejarah perjuangan Bangsa Indonesia khususnya di Kalbar.
Kami sampai di areal jam 13.30, saat itu matahari bersinar terik sekali.
Segera Saya menemui Pak Samad, penjaga makam, memperkenalkannya dengan anak anak dan berbincang sejenak.
Saat itu sempat Saya berikan pesawat HP (hand phone, red) agar bisa berkomunikasi dengan Nur Iskandar, Pimred Borneo Tribune di Pontianak, untuk berjomunikasi soal hasil pertemuan “Mandor Meeting” yang digelar bersama stakeholder di The Roof Cafe, Jumat (20/6) sebelumnya.
Terdengar komunikasi antara Pak Samad dan Nur Iskandar intens. “Iya. Ya, bagus itu. Baguslah kalau begitu,” komentar Pak Samad yang sempat Saya rekam.
Kepada Saya, Pak Samad mengatakan bahwa Nur Iskandar menceritakan hasil-hasil pertemuan di kalangan keluarga korban maupun wakil-wakil pemerintah. “Baguslah jika Tribune Institute dipercaya untuk membuat perencanaan yang menyeluruh mengenai HBD,” ujar Pak Samad meberikan kesimpulannnya.
Setelah minta ijin dan meminjam kunci untuk membuka gembok di jalan masuk menuju areal pemakaman, Saya mengajak anak anak menuju diorama kejadian Mandor yang melukiskan berbagai adegan peristiwa Mandor.
Mulanya ada keengganan anak anak untuk berpindah dari nyamannya kesejukan AC (Air Conditioner, red) mobil ke lapangan terbuka dan disengat sinar matahari, namun begitu Saya mulai bercerita tentang peristiwa Mandor sambil menjelaskan adegan demi adegan yang terdapat pada relief di dinding semen, segera anak anakku takjub, tengelam dalam perenungan alam pemikirannya. Kemudian berbagai pertanyaan mulai muncul dari mulut mereka yang mungil.
“Pa, mengapa Ibu penjual buah ini ditendang Jepang? Apa salahnya?”
“Lihat Pa! Dua ekor ayam ini mau diinjak Jepang ....“
“Papa! Bapak yang pakai kacamata itu dokter ya? Dion lihat ada stetoskop yang di pakainya.”
“Papa...lihat ada orang yang di injak injak ....”
Pada saat sampai di akhir kisah Saya sampaikan setelah Negara Jepang kena bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika dan sekutu, kekuatan Jepang berkurang dan akhirnya Jepang menyerah. Tapi sebagian rakyat Kalbar telah dibunuh oleh Jepang karena mereka ingin men-Jepang-kan Kalbar. Para tokoh yang melawan ditangkap dan disiksa. Sebagian dibunuh di tempat ini.
“Papa, Dion mau lihat ada tidak Jepang yang dibunuh oleh pejuang kita!?”
Tuh yang botak dan tengkurap itu ... tunjuk Saya pada relief yang terakhir.
Kemudian kami masuk ke dalam mobil untuk mengunjungi lubang lubang pemakaman massal karena jarak satu makam ke makam yang lainnya cukup jauh. Menurut data Kecamatan Mandor, daerah makam berada di lokasi cagar alam yang luasnya 3.080 hektar.
“Papa, lihat ada korban Jepang yang wartawan!” seru Dion yang membaca papan pengumuman di bagian depan rumah Pak Samad, yang memuat sebagian kecil data korban berikut keterangan profesinya. Dion tampak semakin takjub dan paham bahwa sampai wartawanpun jadi korban keganasan Jepang saat itu.
“Papa nanti kalo ada artis Jepang kita tinju ya!” cetus anakku Dion tiba tiba. Jhas celetukan anak-anak.
Dia pengemar Power Ranger dan Doraemon yang notabene film seri buatan Jepang. Entah apa yang melintas dalam pikirannya soal tinju itu—apakah nasionalisme atau dendam ala anak-anak—segera Saya menjelaskan bahwa meninju artis Jepang itu bukan tindakan yang baik. Mereka juga tidak tahu dan belum tentu setuju dengan tindakan serta kekejaman tentara Jepang masa lalu.
“Kita datang ke sini untuk belajar sejarah, bukan untuk membuka dendam kepada siapapun,” kata Saya.
Saya lantas kuatir bahwa tujuan utama untuk memberikan informasi sejarah perjuangan Kalbar kepada anak Saya malah menghasilkan perasaan dendam pada benaknya kepada Jepang. Semoga tidak.
Kita memang pantas marah dengan kekejaman Jepang yang menelan satu generasi rakyat Kalbar sejumlah 21.037 jiwa, namun bukan dendam negatif, tetapi memetik nilai-nilai kejuangannya untuk membangun Kalbar secara bersama-sama dengan semangat pluralisme lokal, nasional dan internasional.
Dalam kunjungan ini Saya kuatir jika kemarahan anak anak Saya bertambah dengan penjelasan Saya bahwa hamparan pasir putih di sisi kiri jalan menuju makam 1 adalah akibat pertambangan emas liar dan bahwa sebenarnya kita sendiri kurang menunjukkan kemampuan untuk menghargai pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang terkubur di sini, namun mereka hanya diam saja ... entah apa yang ada di dalam benak mereka.
Dalam beberapa hari ini, masih ada berbagai pertanyaan yang muncul dari anak anak Saya sehubungan dengan Makam Mandor, umumnya minta diceritakan kembali kejadian Mandor, oleh karena itu Saya mendambakan adanya sebuah buku berupa komik yang bercerita tentang Tragedi Mandor dan sejarah perjuangannya, pasti Saya akan jadi pembeli yang pertama untuk anak anakku.
No comments:
Post a Comment