Kepala Terkulai di Truk Jepang
Johan Wahyudi
Borneo Tribune, Mempawah
Raut wajahnya dipenuhi kerutan. Kulitnya sawo matang, terbakar sinar matahari. Kasim, (88 tahun) warga Dusun Parit Banjar, Desa Sungai Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Hilir merupakan veteran yang hingga kini masih aktif mengurus kebun miliknya.
Saat ditemui kediamannya, Tok Su Kasim panggilan sehari-harinya, Sabtu (28/6), kemarin terlihat sedang asik memperbaiki ban sepeda tuanya yang mengalami kerusakan. Di dalam rumah ada istri yang sedang memasak menggunakan api tungku, sedangkan anak perempuannya sedang membersihkan rumah.
“Apa kabar tok?” Saya menyapa.
“Baik-baik saja, cuma badan sudah tidak kuat lagi. Tapi untuk membersihkan rumput di kebun masih bisalah, apalagi mata ini agak rabun,” akunya sambil tertawa ringan.
Dan ketika saya, menanyakan kenang-kenanganya pada masa penjajahan ia berusaha mengenang masa lalunya. “Saya sangat sakit hati dengan penjajah, mendengar cerita ibu saya, tentang kekejaman penjajah. Dan orang tua saya pergi dari Banjar hanya menggunakan sampan untuk menyelamatkan diri,” ceritanya dimana pada saat itu ia masih kecil, bahkan ia sendiri tidak sempat mengenal wajah orang tuanya.
Di usia 17 tahun, dia sempat masuk dalam pasukan pemberontak penajajah Belanda. Selama masuk pasukan pemberontak berbulan-bulan ia bersama teman-temanya tinggal di dalam hutan. Di mana mereka memiliki tugas merusak infrastruktur jalan seperti jembatan untuk menghalangi perjalanan tentara Belanda.
“Kami sempat merobohkan jembatan di Karangan, karena kami mendapat informasi tentara Belanda akan menyerang daerah hulu. Dan selama di dalam hutan kami juga disuplai obat-obatan yang dibantu oleh Dr. Rubini, terutama obat malaria,” katanya.
Dan menurut ingatannya, Jepang mulai mendarat di Kalbar sekitar tahun 1942 dan menjajah Indonesia selama 3 tahun 8 bulan.
Kedatangan Jepang bertujuan mengusir Belanda dari Indonesia. Untuk itu, dirinya sempat mengikuti latihan angkatan perang yang dibentuk tentara Jepang yaitu Kaigun Heiho yang beranggotakan warga pribumi. Bahkan kedatangan tentara Jepang sempat disambut gembira, karena berharap Indonesia terlepas dari penderitaan yang dialami di masa penjajahan Belanda.
“Saya sempat dilatih menjadi tentara pembela tanah air yang dibernama Kaigun Heiho. Di mana kami dikumpulkan di sebuah gereja di Kota Singkawang, di mana seluruh kesehatan tubuh kami diperiksa. Dan di sanalah saya dilatih tentara Jepang menggunakan senapang, membuat granat dan teknik-teknik perang lainnya,” ucapnya.
Dikonfirmasi mengenai terjadinya penangkapan dan pembantain tokoh-tokoh masyarakat Kalbar, Ia menjelaskan karena Jepang mengetahui akan adanya pemberontakan yang dilakukan masyarakat Kalbar yang bertujuan melepaskan diri dari ikatan penjajah. Maka Jepang langsung melakukan penangkapan, terhadap para tokoh-tokoh yang dianggap menjadi otak pemberontakan tersebut.
“Karena Jepang mengetahui akan adanya pemberontakan. Maka para tokoh masyarakat dan pemuda kita ditangkap dan dibawa ke Mandor, lalu dipancung. Dan saya sempat melihat iringan mobil truk Jepang membawa korban. Karena pada saat mereka lewat terpal penutup bak truk tersingkap, sehingga tampak kepala seseorang terkulai bersandar di bak,” katanya.
Sedangkan ditetapkannya tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, terhadap peristiwa pembantaian puluhan ribu masyarakat Kalbar di Mandor yang merupakan bukti sejarah keganasan penjajah Jepang yang tak terlupakan, pria yang rambutya telah memutih ini memberikan pujian.
“Yang masih saya ingat hanya kenang-kenangan pada masa penjajah dulu yang tidak bisa dilupakan,” katanya.
Johan Wahyudi
Borneo Tribune, Mempawah
Raut wajahnya dipenuhi kerutan. Kulitnya sawo matang, terbakar sinar matahari. Kasim, (88 tahun) warga Dusun Parit Banjar, Desa Sungai Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Hilir merupakan veteran yang hingga kini masih aktif mengurus kebun miliknya.
Saat ditemui kediamannya, Tok Su Kasim panggilan sehari-harinya, Sabtu (28/6), kemarin terlihat sedang asik memperbaiki ban sepeda tuanya yang mengalami kerusakan. Di dalam rumah ada istri yang sedang memasak menggunakan api tungku, sedangkan anak perempuannya sedang membersihkan rumah.
“Apa kabar tok?” Saya menyapa.
“Baik-baik saja, cuma badan sudah tidak kuat lagi. Tapi untuk membersihkan rumput di kebun masih bisalah, apalagi mata ini agak rabun,” akunya sambil tertawa ringan.
Dan ketika saya, menanyakan kenang-kenanganya pada masa penjajahan ia berusaha mengenang masa lalunya. “Saya sangat sakit hati dengan penjajah, mendengar cerita ibu saya, tentang kekejaman penjajah. Dan orang tua saya pergi dari Banjar hanya menggunakan sampan untuk menyelamatkan diri,” ceritanya dimana pada saat itu ia masih kecil, bahkan ia sendiri tidak sempat mengenal wajah orang tuanya.
Di usia 17 tahun, dia sempat masuk dalam pasukan pemberontak penajajah Belanda. Selama masuk pasukan pemberontak berbulan-bulan ia bersama teman-temanya tinggal di dalam hutan. Di mana mereka memiliki tugas merusak infrastruktur jalan seperti jembatan untuk menghalangi perjalanan tentara Belanda.
“Kami sempat merobohkan jembatan di Karangan, karena kami mendapat informasi tentara Belanda akan menyerang daerah hulu. Dan selama di dalam hutan kami juga disuplai obat-obatan yang dibantu oleh Dr. Rubini, terutama obat malaria,” katanya.
Dan menurut ingatannya, Jepang mulai mendarat di Kalbar sekitar tahun 1942 dan menjajah Indonesia selama 3 tahun 8 bulan.
Kedatangan Jepang bertujuan mengusir Belanda dari Indonesia. Untuk itu, dirinya sempat mengikuti latihan angkatan perang yang dibentuk tentara Jepang yaitu Kaigun Heiho yang beranggotakan warga pribumi. Bahkan kedatangan tentara Jepang sempat disambut gembira, karena berharap Indonesia terlepas dari penderitaan yang dialami di masa penjajahan Belanda.
“Saya sempat dilatih menjadi tentara pembela tanah air yang dibernama Kaigun Heiho. Di mana kami dikumpulkan di sebuah gereja di Kota Singkawang, di mana seluruh kesehatan tubuh kami diperiksa. Dan di sanalah saya dilatih tentara Jepang menggunakan senapang, membuat granat dan teknik-teknik perang lainnya,” ucapnya.
Dikonfirmasi mengenai terjadinya penangkapan dan pembantain tokoh-tokoh masyarakat Kalbar, Ia menjelaskan karena Jepang mengetahui akan adanya pemberontakan yang dilakukan masyarakat Kalbar yang bertujuan melepaskan diri dari ikatan penjajah. Maka Jepang langsung melakukan penangkapan, terhadap para tokoh-tokoh yang dianggap menjadi otak pemberontakan tersebut.
“Karena Jepang mengetahui akan adanya pemberontakan. Maka para tokoh masyarakat dan pemuda kita ditangkap dan dibawa ke Mandor, lalu dipancung. Dan saya sempat melihat iringan mobil truk Jepang membawa korban. Karena pada saat mereka lewat terpal penutup bak truk tersingkap, sehingga tampak kepala seseorang terkulai bersandar di bak,” katanya.
Sedangkan ditetapkannya tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, terhadap peristiwa pembantaian puluhan ribu masyarakat Kalbar di Mandor yang merupakan bukti sejarah keganasan penjajah Jepang yang tak terlupakan, pria yang rambutya telah memutih ini memberikan pujian.
“Yang masih saya ingat hanya kenang-kenangan pada masa penjajah dulu yang tidak bisa dilupakan,” katanya.
No comments:
Post a Comment