PANTANG LARANG
Setiap daerah atau suku bangsa, sudah tentu mempunyai beragam adat istiadat yang membedakan ia dengan suku-suku dan daerah yang lainnya.salah satu dari adat istiadat tersebut adalah budaya pantang larang. Pantang larang yang berlaku dalam suatu daerah merupakan salah satu dari berbagai macam kekayaan khazanah kebudayaan. Masing-masing masyarakat, sudah pasti mempunyai suatu kearifan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya.
Tulisan sederhana ini dibuat dalam rangka memperkenalkan kepada masyarakat luas pada salah satu budaya yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu Sambas. Mungkin, seperti juga yang terjadi di daerah-daerah lain, budaya pantang larang untuk saat sekarang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat. Kemajuan tekhnologi dan kebebasan berfikir, mungkin salah satu yang menjadi factor penyebabnya.
Oleh karena itu, dalam rangka upaya untuk melestarikan budaya, yang dipandang banyak orang sudah ketinggalan zaman ini, maka perlu kiranya dilakukan sebuah upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satu upaya kecil dari sebuah cita-cita yang besar itu adalah dengan cara merekam atau menuliskannya, sehingga masyarakat khususnya pemilik kebudayaan tersebut, dalam hal ini orang Melayu Sambas, tak lantas benar-benar lupa, akan kekayaan budaya lokal yang dimiliki.
Selain itu, tulisan ini juga bertujuan ingin mengungkapkan, bagaimana peranan budaya pantang larang tersebut dalam proses pendidikan etika, bahkan upaya pelestarian lingkungan dan kebudayaan di sana. Apakah keduanya mempunyai hubungan satu sama lain. Ataukah hanya sebagai mitos-mitos belaka, yang dahulu sangat diyakini.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendeskripisikan mengenai pantang larang yang berlaku pada masyarakat Melayu Sambas. Data tersebut penulis kumpulkan di desa desa Maktangguk, kecamatan Tebas.
Desa Maktangguk terletak di wilayah kecamatan Tebas, kabupaten Sambas. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 315 KM, bisa ditempuh dengan menggunakan bis umum, atau sepeda motor, dalam waktu sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan.
Jarak desa Maktangguk dari ibu kota kecamatan sekitar 15 KM. biasanya ditempuh menggunakan sepeda motor, angkutan umum (oplet), atau bisa juga dengan menggunakan motor air. Namun, alternative terakhir, untuk saat sekarang sudah mulai kurang disukai, karena selain tidak efektif, juga biaya yang dikeluarkan sedikit lebih mahal. Orang di sana lebih menyukai penggunaan sepeda motor, karena faktor kepraktisan tadi.
Motor air hanya digunakan penduduk apabila mereka ingin mengangkut barang-barang dalam jumlah yang banyak, yang tidak mungkin menggunakan sepeda motor. Misalnya membawa barang elektronik, yang baru dibeli, dan lain-lain. Selain itu, jalur air ini juga biasanya digunakan untuk membawa hasil perkebunan penduduk, seperti jeruk, kelapa, nanas, dan yang lainnya untuk dibawa dan dijual ke pasar.
Mengenai kondisi jalan menuju desa Maktangguk itu sendiri, keadaannya sudah rusak sangat parah. Padahal, jalan tersebut baru diaspal sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang, yang tersisa hanya tonjolan-tonjolan batu, yang sudah “ditinggalkan” aspalnya.
Kerusakan parah pada jalan utama ini, disebabkan oleh ketidakmampuan jalan dengan aspal yang ala kadarnya, menampung beban berat mobil-mobil truk, yang mengangkut hasil perkebunan, pertanian, bahkan bahan bangunan. Kerusakan tersebut makin diperparah dengan sering terjadinya banjir, sehingga air bertakung di permukaan jalan, dalam waktu yang lama.
Penduduk di desa Maktangguk boleh dikatakan hampir 99 persen adalah masyarakat Melayu Sambas, sisanya etnis Tionghoa dan Dayak. Sebelum kerusuhan yang terjadi beberapa tahun silam, yang melibatkan etnis Madura, Melayu dan Dayak, dahulu juga terdapat etnis Madura, sekitar 5 sampai 6 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama Islam.
Mata pencaharian utama mereka adalah mengandalkan sawah dan kebun. Terutama kebun jeruk. Kecamatan Tebas, memang terkenal dengan penghasil jeruk terbanyak, dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kalimantan Barat.
Akan tetapi, kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini hanyalah berasal dari kalangan orang tua. Sedangkan pemuda dan pemudi di sana, sebagian besar merantau ke Malaysia menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia), pemudanya juga ada yang bekerja di hutan, menebang kayu, dan ada juga sebagian kecil yang merantau ke Pontianak.
Faktor rendahnya pendidikanlah yang menyebabkan pemuda dan pemudi di sana lebih memilih untuk meninggalkan kampung halamannya. Karena mereka menganggap, untuk mendapatkan pekerjaan di Malaysia, itu jauh lebih mudah dibandingkan untuk bekerja di negeri sendiri. Untuk menjadi TKI, mereka sama sekali tidak membutuhkan ijazah, hanya berbekalkan kemauan, maka dapatlah pekerjaan di Malaysia. Sedangkan untuk kerja di negeri sendiri, Pontianak, misalnya, minimal mereka harus mengantongi ijazah SMA baru bisa dapat pekerjaan, dan itupun kurang menjamin juga.
Kesadaran masayarakat di sana mengenai pentingnya pendidikan, memang masih bisa dikatakan rendah. Dari data terakhir yang penulis kumpulkan, jumlah sarjana di sana sampai tahun 2008 ini, baru 3 orang, sekarang ketiganya menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar di sana. Sedangkan untuk tamatan SMU/sederajat berjumlah 30 orang (selama 15 tahun terakhir). Sisanya tamatan SMP/sederajat dan yang paling banyak hanya tamatan sekolah dasar (SD). Jumlah penduduk menurut data terakhir berjumlah 1500 jiwa.
Mengenai pantang larang yang berlaku di sana, sebagian masih ada yang mempercayainya dengan sepenuh hati. Namun sebagian besar juga sudah mulai meninggalkannya. Penduduk yang masih memakai pantang larang tersebut biasanya berasal dari kalangan orang-orang tua. Dan seiring bergantinya generasi, orang-orang sudah mulai meninggalkannya, dan tidak lagi meyakini hal tersebut sebagai sesuatu hal yang harus benar-benar dipegang.
Pantang larang yang penulis kumpulkan ini, mencakup dari berbagai tempat dan kondisi, seperti di rumah, di hutan, di air, di sawah, pantangan untuk wanita hamil dan lain-lain. Berikut adalah pantang larang yang sampai hari ini, masih bisa bertahan, dan masih dipegang:
Pantangan saat berada Di rumah
1. Jangan berbaring sambil tengkurap.
Pantangan ini jika dilanggar, diyakini akan menyebabkan ibu kandung orang tersebut bisa meninggal.
2. Jangan berbaring dengan bertopangkan tangan,
Berbaring dengan bertopangkan tangan maksudnya, saat kita berbaring, tubuh kita itu bertumpu pada satu tangan, dengan posisi miring (ke kiri atau ke kanan). Dan pantangan ini jika dilkukan maka akan menyebabkan telinga tidak bisa mendengarkan kebenaran, yakni saat orang tersebut akan meninggal dunia, dia tidak akan bisa mengikuti orang yang menuntunnya membaca kalimah tauhid.
3. Jangan memotong kuku pada malam hari,
Memotong kuku pada malam hari juga sangat dilarang, karena jika hal tersebut dilakukan, maka seperti pantangan point no 1, maka bisa menyebabkan ibu mati juga.
4. Jangan mandi pakai baju,
Terutama saat kita mandi di sungai, maka tidak boleh mandi menggunakan baju. Orang di sana jika mandi di sungai biasanya menggunakan kemban. Jika pantangan ini dilanggar, maka bisa menyebabkan mati bungkus (khusus perempuan). Mati bungkus di sini bermakna, jika orang tersebut hamil, maka anak yang dalam kandungannya tersebut, bisa meninggal dalam kandungan.
5. Bersiul di dalam rumah,
Bersiul dalam rumah juga sangat dilarang, karena diyakini akan menyebakan kesialan, dan menjauhkan dari rezeki.
6. Terkena penyapu
Terkena penyapu ini, maksudnya pada saat orang lain sedang menyapu, jika sapunya tersebut mengenai kaki atau tubuh yang lainnya maka akan menyebabkan petaka dan sial. Misalnya jika dia bekerja yang mengguanakan senjata tajam. Maka senjata tajam tersebut akan melukainya. Atau jika dia berangkat ke laut, maka dia akan disambar buaya. Namun petaka dan kesialan tersebut, bisa dicegah dengan cara sesegera mungkin meludahi penyapu tersebut.
7. Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu,
Seorang gadis, sangat dilarang duduk di depan pintu rumah. Hal ini di yakini bisa menyebabkan nanti tunangannya balik (tidak jadi datang melamar).
8. Masak jangan sambil menyanyi,
Pantangan yang satu ini, bisa dikatakan yang paling populer, dan sampai saat sekarang, masih sering disebut-sebut oleh orang tua maupun muda. Pantangan ini jika diabaikan, bisa menyebabkan anak gadis tersebut nantinya akan mendapat jodoh orang yang sudah tua.
9. Mencuci piring pada malam hari,
Mencuci piring paada malam hari, juga termasuk pantangan yang sangat dijaga oleh sebagian besar masyarakat di sana, terutama pada musim panen tiba. Karena diyakini bisa membuat tikus-tikus di ladang jadi beringas dan ganas, untuk merusak dan menghancurkan padi-padi yang siap panen, di sawah.
10. Makan bersisa,
Pantangan ini biasanya ditujukan untuk anak-anak kecil, yang biasanya sering makan tidak bersisa, karena pada zaman dahulu, bisanya setiap anak kecil itu, diberikan satu ekor ayam yang dipelihara olehnya, dan jika ayam tersebut sudah besar dan dijual, maka uang hasil penjualannya akan menjadi hak anak tersebut. Nah, jika si anak tersebut makannya sampai bersisa, maka ayam peliharaannya tadi, bisa mati.
11. Jika makan tebu, harus dimakan dari ujung dulu (dari bagian yang tidak manis),
Pantangan ini juga ditujukan kepada anak kecil. Menurut orang-orang tua, bagian yang tidak manis tersebut, jika dimakan terlebih dahulu, maka anak tersebut nantinya bisa pandai berenang.
Di sungai atau laut.
1. Tidak boleh mencuci kuali langsung di sungai, dan membuang abu dapur ke sungai,
Mencucui kuali, atau membuang abu dapur di sungai, terutama pada saat lorang tersebut melakukan perjalanan dengan menggunakan sampan, maka akan menyebabkan hujan ribut, yang bisa membahayakan nyawa orang yang bersangkutan tentunya. Jadi boleh dikatakan hal ini juga bisa menyebabkan kematian.
Di sawah
1. Menampi beras di sawah,
Petani sangat dilarang untuk menampi padi atau beras di sawah. Hal ini dikarenakan, penduduk di sana (sebagian) sangat meyakini bahwa padi atau beras itu seperti anak kecil. Maka petani tersebut harus memperlakukannya secara lemah lembut. Jadi perbuatan menampi beras dianggap suatu perbuatan yang bisa menyebakan padi tersebut ketakutan, jika dia takut, mereka percaya bahwa padi-padi lain (yang belum dipanen) jika melihat hal tersebut, akan ketakutan, lalu ia akan “lari”.
Di hutan
1. Tidak bolah mencemari air yang tergenang,
Jadi saat di hutan, jika kita menemukan air yang menggenang, maka kita tidak boleh mencemari air tersebut, baik itu mengunjak-injaknya, membuatnya keruh, apalagi kencing di sana, karena perbuatan tersebut dianggap sama saja dengan durhaka kepada orang tua.
2. Tidak boleh memanggang terasi, ikan, dan rotan pada malam hari,
Orang yang sedang berada di dalam hutan, sangat dilarang untuk membakar terasi, ikan, atau barang-banrang yang berbau menyengat lainnya, selain itu juga tidak boleh membakar rotan, karena perbuatan tersebut dapat mengundang hantu hutan, untuk menghampiri dan mengganggu kita.
3. Kencing di liang-liang kayu atau lubang tanah,
Di dalam hutan, sudah pasti kita akan banyak sekali menemukan lubang-lubang di tanah atau liang-liang yang terdapat di kayu-kayu besar, karena dikhawatirkan liang atau lubang tersebut merupakan tempat tinggal makhluk halus. Jadi jika seseorang kencing di tempat tersebut, maka makhluk halus yang mendiaminya akan marah, lalu menggangu orang tersebut.
4. Berludah sembarangan,
seseorang yang sedang berada di hutan juga sangat dilarang untuk meludah di sembarang tempat, karena air ludah tersebut bisa mengundang pacet dan lintah.
5. Jika ingin minum di air yang tergenang di hutan, harus menggunakan mulut langsung (seperti binatang).
Jadi, seseorang tidak boleh menggunakan tangan atau alat Bantu seperti gelas dan lain-lain, karena jika tidak, maka orang tersebut akan mengalami sakit perut atau sakit tulang.
6. Jika sedang kecapean, jangan memegang lutut,
Jika sedang melakukan perjalan di dalam hutan, jika seseorang merasakan capek, maka sangat dilarang untuk memegang lutut, karena jika dilanggar, bisa menyebabkan orang tersebut tidak bisa berjalan sama sekali. Akan tetapi bisa diobati dengan memukul-mukulkan daun kayu hutan, ke lutut yang sakit tersebut.
7. Jika bertemu binatang buas, tidak boleh menyebutnya dengan namanya langsung.
Di hutan, jika kita menemukan binatang buas seperti ular, harimau, beruang atau binatang buas yang lainnya, tidak boleh disebut namanya, akan tetapi harus disebut dengan bahasa kiasan lain, contohnya kita sebut Nenek atau Datok, karena jika tidak, binatang tersebut akan bertambah besar dan ganas.
8. Tidak boleh melangkahi atau berjalan di atas kayu yang saling bersilang (yang membentuk huruf X).
Jika bertemu dengan pohon kayu yang saling bersilang (membentuk huruf X), lebih baik mengambil jalan lain, dari pada berjalan di atasnya, karena dipercaya, jika hal tersebut dilakukan bisa membuat kita tersesat di dalam hutan tersebut, dan tidak akan bisa ditemukan oleh siapapun.
9. Tidak boleh menebang kayu yang rimbun,
Menebang kayu yang sangat rindang, yang di bawahnya tak ada kayu lain yang tumbuh, juga dilarang, karena pohon tersebut dipercaya merupakan tempat tinggal makhluk halus, dan jika ditebang maka makhluk halus tersebut akan marah dan mengganggu orang yang menebangnya.
10. Jangan memanggil nama teman dengan berteriak,
Jika ada teman yang tertinggal rombongan atau tersesat di hutan, maka dilarang memanggil namanya dengan berteriak, kalaupun harus berteriak, maka jangan memanggil namanya, bisa dengan mengganti dengan istilah lain, atau cukup dengan meneriakkan kata “HU” atau “WOI” atau yang sejenisnya, karena jika tidak, hal tersebut bisa membuat hantu hutan akan menyemar menjadi orang yang kita penggil tersebut.
11. Tidak boleh melangkahi senjata tajam yang akan digunakan untuk bekerja.
Pelanggaran dari pantangan ini akan menyebabkan orang yang menggunakan alat yang telah dilangkahi tersebut cedera. Akan tatapi, hal tersebut bisa dicegah dengan meludahi senjata tajam tersebut kemudian diangkat ke kepala.
12. Tidak boleh memukul akar-akar kayu yang menonjol ke tanah,
Memukul-mukul akar pohon yang menonjol dari tanah dilarang karena perbuatan tersebut membuat hantu-hantu hutan berdatangan, karena suara pukulan tadi diibaratkan suara musik yang membuat hantu hutan suka,lalu datang ka erah asal suara tadi.
13. Tidak boleh bersiul,
Seseorang juga sangat tidak dianjurkan untuk besiul saat berada di hutan, sebab akan mendatangkan badai.
Pantangan bagi wanita yang sedang hamil, serta suaminya, dan setelah ibunya melahirkan:
1. Jangan duduk di depan tangga,
Wanita yang sedang hamil, tidak boleh duduk di depan tangga pintu masuk rumah, karena akan mempersulit proses persalinannya nantinya.
2. Tidak boleh tidur saat matahari sedang naik (waktu pagi),
Tidur di waktu matahari sedang naik sangat dilarang untuk semua orang, apalagi wanita yang sedang hamil, karena bisa menyebabkan bayi yang di dalam kandungan jadi bengkak, sehingga secara otomatis nantinya akan menyulitkan proses persalinan.
3. Bagi suami, jangan menyembelih hewan, saat istrinya sedang hamil,
kegiatan menyembelih hewan, bagi seorang suami sangat dilarang. Karena perbuatan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan anaknya mirip dengan hewan yang disembelih oleh ayahnya tersebut.
4. Suami juga tidak boleh membelah kayu,
Membelah kayu, atau menebang kayu bagi suami yang isterinya sedang hamil besar juga dilarang, karena anaknya bisa berbibir sumbing, cacat atau terjadi hal-hal jelek lainnya.
5. Seorang bapak, yang anaknya belum berumur 40 hari dilarang memotong batang pisang.
Saat anak baru lahir, terutama saat tali pusarnya belum kering, bapaknya tidak boleh memotong batang pisang, karena akan menyebabkan pendarahan pada pusar bayi tersebut. Berdasarkan cerita yang penulis dapatkan dari dukun yang biasa membantu persalinan warga di sana, peristiwa ini pernah terjadi. Bapak dari anak tersebut, karena tidak tahu, ia menebang pisang, anakanya yang ada di rumah, dengan serta merta mengalami pendarahan hebat pada pusarnya, yang akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia.
6. Seorang ayah juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor,
Selain memotong pisang tadi, sebelum seorang anak memasuki umur 40 hari, bapaknya juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor, karena jika dilanggar, maka perut anaknya akan kembung.
Pantangan-pantangan yang telah disebutkan di atas, sudah pasti belum semuanya terangkum. Masih banyak pantangan-pantangan lainnya yang belum sempat terekam. Namun penulis rasa, dari beberapa hal tersebut sedikit sudah bisa menggambarkan mengenai apa dan bagaimana posisi budaya pantang larang bagi masyarakat Melayu Sambas. Hal itu dapat dilihat dari tempat berlakunya, hampir semua mencakup tempat-tempat dan kondisi yang memang sangat dekat dengan kehidupan orang Melayu, yakni sawah, sungai dan hutan.
Pantangan-pantangan tersebut, jika kita tinjau lebih dalam, (terlepas dari ancaman-ancaman tersebut, tentunya) maka kita akan menemukan wujud dari kearifan lokal masyarakat setempat pada zaman dahulu dalam upaya untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang sopan santun, etika, dan upaya dalam memelihara lingkungan, serta penghargaan terhadap makhluk ghaib, yang walupun tak terlihat, namun mereka ada, dan berdampingan dengan manusia. Belum lagi jika kita tinjau dari segi kesehatan dan dihubungkan juga dengan ajaran agama.
Sebagai contoh, pantangan yang berhubungan dengan pelajaran etika, yakni larangan bagi anak gadis, jangan duduk di depan pintu, atau larangan bernyanyi jika sedang masak. Jika kita lihat hikmah dan pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua melalui pantangan itu, memang sangat bijaksana. Anak gadis, dan penulis rasa juga berlaku untuk semua orang, memang tidak pantas duduk di depan pintu. Karena perbuatan tersebut menghalangi orang yang mau masuk, dan itu sangat mengganggu. Begitu juga halnya dengan masak sambil bernyanyi, mungkin orang tua zaman dahulu khawatir, nanti malah anak gadis tersebut keasyikan bernyanyi, sehingga melupakan masakannya.
Contoh lain misalnya, jika makan tebu, harus dimulai dari bagian ujungnya (bagian yang tidak manis) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan, agar si anak bisa menghargai makanan, sebab jika dia makan yang manis dahulu, bagian yang tidak manisnya, pasti ditinggalkan. Namun, pesan terbesar yang ingin disampaikan melalui pantangan ini adalah, bagaimana kita menjalani hidup. Seseorang, akan merasakan kebahagiaan yang paling manis, ketika ia telah mengecap pengalaman yang tidak manis, bahkan yang pahit sekalipun dalam hidupnya.
Pantangan yang berhubungan dengan upaya dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya seseorang dilarang membuang abu dapur, atau mencuci kuali ke dalam sungai. Atau pantangan saat berada di hutan, yakni seseorang tidak boleh mencemari air yang tergenang. Larangan tersebut sudah sangat jelas, bahwa ada upaya pencegahan perbuatan yang dapat mencemari lingkungan di situ.
Pantang larang yang bisa kita lihat dari segi upaya menjaga kesehatan dan kebersihan. Misalnya, tidur jangan sambil tengkurap, tidur jangan bertopangkan tangan, dan yang bagi wanita hamil jangan tidur pada saat matahari sedang naik (waktu dhuha), mandi jangan menggunakan baju, dan pantangan mencuci piring pada malam hari. Kesemua itu adalah wujud dari kebijaksanaan orang tua dalam mengajarkan anak-anaknya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan.
Yang terakhir, kita kaji dari sudut pandang agama. Salah satu contohnya adalah seorang anak tidak boleh makan bersisa. Bukankah Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan perbuatan mubazir. Selain itu, pantangan tersebut juga mengajarkan pada anak-anak untuk terbiasa menghargai makanan, berapapun jumlahnya. Dan perbuatan tersebut, selayaknya memang harus dibiasakan sejak kecil, karena itu akan membentuk perilakunya sampai ia dewasa.
Di antara pantangan-pantangan di atas, memang, tidak dapat dipungkiri ada juga sebagian yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah etika, kesehatan, ataupun agama. Akan tetapi hal tersebut benar-benar mereka pegang. Mengenai masalah ini, tokoh masyarakat, yang menjadi narasumber dari penelitian ini, sama sekali tidak mau membeberkan alas an mengapa hal tersebut sangat mereka yakini. Beliau hanya menjelaskan bahwa dia juga diberitahu oleh orang tuanya, dan orang tuanya dulu juga diberitahu oleh neneknya, dan begitu terus secara turun-temurun.
Pantangan-pantangan yang dimaksud itu, misalnya di hutan tidak boleh membakar barang-barang yang berbau menyengat, seperti terasi, ikan dan rotan. Seorang bapak yang mempunyai anak bayi yang belum genap berumur 40 hari, tidak boleh membelah kayu, memotong batang pisang, ataupun memompa sepeda atau sepeda motor. Tapi, pastinya orang tua zaman dahulu, mempunyai alasan kuat mengapa perbuatan-perbuatan tersebut juga dilarang. Bisa jadi, kejadian aneh (anaknya berbibir sumbing) atau musibah (pendarahan pada pusar anak, hingga anak tersebut meninggal dunia) memang benar-benar terjadi bertepatan dengan “pelanggaran” yang dilakukan ayahnya. Jadi, orang zaman dahulu, yang sama sekali belum mengetahui perihal cara penanganan kasus tersebut, lalu menghubung-hubungkan kejadiannya. Padahal, bisa jadi, musibah tersebut terjadi karena kesalahan penanganan pada sang bayi, yang lalu berakibat sangat fatal, yakni kematian. Begitulah akhirnya, secara turun temurun, hal tersebutlah yang diyakini sebagai penyebabnya.
Setiap pantang larang yang terdapat di dalam suatu masyarakat, biasanya mayoritas mengandung suatu ancaman, baik itu berupa kegagalan panen, kesulitan, tidak dapat jodoh atau dapat jodoh orang yang sudah tua, , didatangi hantu, sakit, atau bahkan ancaman kematian, baikitu bagi si pelaku pelanggaran, maupun terhadap orang-oarang yang tersayang. Semua hal tersebut, menurut penulis adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Mengapa kesemuanya itu, harus menggunakan sebuah ancaman.
Berdasarkan diskusi yang penulis lakukan bersama orang-orang terdekat, bahwa adakalanya sebuah ancaman itu pengaruhnya akan jauh lebih berhasil. Apalagi untuk masyarakat yang boleh dikatakan masih sangat tradisional, mereka akan sangat mudah mempercayai apa yang dikatakan oleh orangtuanya.
Orangtua, bagi masyarakat pedesaan, adalah seseorang yang tidak boleh dibantah. Semua yang ia katakana adalah kebenaran. Pemikiran yang seperti inilah yang membuat orang zaman dahulu sangat memegang teguh apa yang orangtua mereka sampaikan. Mereka menganggap bahwa, orang tua adalah orang yang sangat berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang banyak. Membantah perkataan mereka, berarti membuka jalan yang menuju kesengsaraan.
Setiap daerah atau suku bangsa, sudah tentu mempunyai beragam adat istiadat yang membedakan ia dengan suku-suku dan daerah yang lainnya.salah satu dari adat istiadat tersebut adalah budaya pantang larang. Pantang larang yang berlaku dalam suatu daerah merupakan salah satu dari berbagai macam kekayaan khazanah kebudayaan. Masing-masing masyarakat, sudah pasti mempunyai suatu kearifan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya.
Tulisan sederhana ini dibuat dalam rangka memperkenalkan kepada masyarakat luas pada salah satu budaya yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu Sambas. Mungkin, seperti juga yang terjadi di daerah-daerah lain, budaya pantang larang untuk saat sekarang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat. Kemajuan tekhnologi dan kebebasan berfikir, mungkin salah satu yang menjadi factor penyebabnya.
Oleh karena itu, dalam rangka upaya untuk melestarikan budaya, yang dipandang banyak orang sudah ketinggalan zaman ini, maka perlu kiranya dilakukan sebuah upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satu upaya kecil dari sebuah cita-cita yang besar itu adalah dengan cara merekam atau menuliskannya, sehingga masyarakat khususnya pemilik kebudayaan tersebut, dalam hal ini orang Melayu Sambas, tak lantas benar-benar lupa, akan kekayaan budaya lokal yang dimiliki.
Selain itu, tulisan ini juga bertujuan ingin mengungkapkan, bagaimana peranan budaya pantang larang tersebut dalam proses pendidikan etika, bahkan upaya pelestarian lingkungan dan kebudayaan di sana. Apakah keduanya mempunyai hubungan satu sama lain. Ataukah hanya sebagai mitos-mitos belaka, yang dahulu sangat diyakini.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendeskripisikan mengenai pantang larang yang berlaku pada masyarakat Melayu Sambas. Data tersebut penulis kumpulkan di desa desa Maktangguk, kecamatan Tebas.
Desa Maktangguk terletak di wilayah kecamatan Tebas, kabupaten Sambas. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 315 KM, bisa ditempuh dengan menggunakan bis umum, atau sepeda motor, dalam waktu sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan.
Jarak desa Maktangguk dari ibu kota kecamatan sekitar 15 KM. biasanya ditempuh menggunakan sepeda motor, angkutan umum (oplet), atau bisa juga dengan menggunakan motor air. Namun, alternative terakhir, untuk saat sekarang sudah mulai kurang disukai, karena selain tidak efektif, juga biaya yang dikeluarkan sedikit lebih mahal. Orang di sana lebih menyukai penggunaan sepeda motor, karena faktor kepraktisan tadi.
Motor air hanya digunakan penduduk apabila mereka ingin mengangkut barang-barang dalam jumlah yang banyak, yang tidak mungkin menggunakan sepeda motor. Misalnya membawa barang elektronik, yang baru dibeli, dan lain-lain. Selain itu, jalur air ini juga biasanya digunakan untuk membawa hasil perkebunan penduduk, seperti jeruk, kelapa, nanas, dan yang lainnya untuk dibawa dan dijual ke pasar.
Mengenai kondisi jalan menuju desa Maktangguk itu sendiri, keadaannya sudah rusak sangat parah. Padahal, jalan tersebut baru diaspal sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang, yang tersisa hanya tonjolan-tonjolan batu, yang sudah “ditinggalkan” aspalnya.
Kerusakan parah pada jalan utama ini, disebabkan oleh ketidakmampuan jalan dengan aspal yang ala kadarnya, menampung beban berat mobil-mobil truk, yang mengangkut hasil perkebunan, pertanian, bahkan bahan bangunan. Kerusakan tersebut makin diperparah dengan sering terjadinya banjir, sehingga air bertakung di permukaan jalan, dalam waktu yang lama.
Penduduk di desa Maktangguk boleh dikatakan hampir 99 persen adalah masyarakat Melayu Sambas, sisanya etnis Tionghoa dan Dayak. Sebelum kerusuhan yang terjadi beberapa tahun silam, yang melibatkan etnis Madura, Melayu dan Dayak, dahulu juga terdapat etnis Madura, sekitar 5 sampai 6 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama Islam.
Mata pencaharian utama mereka adalah mengandalkan sawah dan kebun. Terutama kebun jeruk. Kecamatan Tebas, memang terkenal dengan penghasil jeruk terbanyak, dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kalimantan Barat.
Akan tetapi, kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini hanyalah berasal dari kalangan orang tua. Sedangkan pemuda dan pemudi di sana, sebagian besar merantau ke Malaysia menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia), pemudanya juga ada yang bekerja di hutan, menebang kayu, dan ada juga sebagian kecil yang merantau ke Pontianak.
Faktor rendahnya pendidikanlah yang menyebabkan pemuda dan pemudi di sana lebih memilih untuk meninggalkan kampung halamannya. Karena mereka menganggap, untuk mendapatkan pekerjaan di Malaysia, itu jauh lebih mudah dibandingkan untuk bekerja di negeri sendiri. Untuk menjadi TKI, mereka sama sekali tidak membutuhkan ijazah, hanya berbekalkan kemauan, maka dapatlah pekerjaan di Malaysia. Sedangkan untuk kerja di negeri sendiri, Pontianak, misalnya, minimal mereka harus mengantongi ijazah SMA baru bisa dapat pekerjaan, dan itupun kurang menjamin juga.
Kesadaran masayarakat di sana mengenai pentingnya pendidikan, memang masih bisa dikatakan rendah. Dari data terakhir yang penulis kumpulkan, jumlah sarjana di sana sampai tahun 2008 ini, baru 3 orang, sekarang ketiganya menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar di sana. Sedangkan untuk tamatan SMU/sederajat berjumlah 30 orang (selama 15 tahun terakhir). Sisanya tamatan SMP/sederajat dan yang paling banyak hanya tamatan sekolah dasar (SD). Jumlah penduduk menurut data terakhir berjumlah 1500 jiwa.
Mengenai pantang larang yang berlaku di sana, sebagian masih ada yang mempercayainya dengan sepenuh hati. Namun sebagian besar juga sudah mulai meninggalkannya. Penduduk yang masih memakai pantang larang tersebut biasanya berasal dari kalangan orang-orang tua. Dan seiring bergantinya generasi, orang-orang sudah mulai meninggalkannya, dan tidak lagi meyakini hal tersebut sebagai sesuatu hal yang harus benar-benar dipegang.
Pantang larang yang penulis kumpulkan ini, mencakup dari berbagai tempat dan kondisi, seperti di rumah, di hutan, di air, di sawah, pantangan untuk wanita hamil dan lain-lain. Berikut adalah pantang larang yang sampai hari ini, masih bisa bertahan, dan masih dipegang:
Pantangan saat berada Di rumah
1. Jangan berbaring sambil tengkurap.
Pantangan ini jika dilanggar, diyakini akan menyebabkan ibu kandung orang tersebut bisa meninggal.
2. Jangan berbaring dengan bertopangkan tangan,
Berbaring dengan bertopangkan tangan maksudnya, saat kita berbaring, tubuh kita itu bertumpu pada satu tangan, dengan posisi miring (ke kiri atau ke kanan). Dan pantangan ini jika dilkukan maka akan menyebabkan telinga tidak bisa mendengarkan kebenaran, yakni saat orang tersebut akan meninggal dunia, dia tidak akan bisa mengikuti orang yang menuntunnya membaca kalimah tauhid.
3. Jangan memotong kuku pada malam hari,
Memotong kuku pada malam hari juga sangat dilarang, karena jika hal tersebut dilakukan, maka seperti pantangan point no 1, maka bisa menyebabkan ibu mati juga.
4. Jangan mandi pakai baju,
Terutama saat kita mandi di sungai, maka tidak boleh mandi menggunakan baju. Orang di sana jika mandi di sungai biasanya menggunakan kemban. Jika pantangan ini dilanggar, maka bisa menyebabkan mati bungkus (khusus perempuan). Mati bungkus di sini bermakna, jika orang tersebut hamil, maka anak yang dalam kandungannya tersebut, bisa meninggal dalam kandungan.
5. Bersiul di dalam rumah,
Bersiul dalam rumah juga sangat dilarang, karena diyakini akan menyebakan kesialan, dan menjauhkan dari rezeki.
6. Terkena penyapu
Terkena penyapu ini, maksudnya pada saat orang lain sedang menyapu, jika sapunya tersebut mengenai kaki atau tubuh yang lainnya maka akan menyebabkan petaka dan sial. Misalnya jika dia bekerja yang mengguanakan senjata tajam. Maka senjata tajam tersebut akan melukainya. Atau jika dia berangkat ke laut, maka dia akan disambar buaya. Namun petaka dan kesialan tersebut, bisa dicegah dengan cara sesegera mungkin meludahi penyapu tersebut.
7. Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu,
Seorang gadis, sangat dilarang duduk di depan pintu rumah. Hal ini di yakini bisa menyebabkan nanti tunangannya balik (tidak jadi datang melamar).
8. Masak jangan sambil menyanyi,
Pantangan yang satu ini, bisa dikatakan yang paling populer, dan sampai saat sekarang, masih sering disebut-sebut oleh orang tua maupun muda. Pantangan ini jika diabaikan, bisa menyebabkan anak gadis tersebut nantinya akan mendapat jodoh orang yang sudah tua.
9. Mencuci piring pada malam hari,
Mencuci piring paada malam hari, juga termasuk pantangan yang sangat dijaga oleh sebagian besar masyarakat di sana, terutama pada musim panen tiba. Karena diyakini bisa membuat tikus-tikus di ladang jadi beringas dan ganas, untuk merusak dan menghancurkan padi-padi yang siap panen, di sawah.
10. Makan bersisa,
Pantangan ini biasanya ditujukan untuk anak-anak kecil, yang biasanya sering makan tidak bersisa, karena pada zaman dahulu, bisanya setiap anak kecil itu, diberikan satu ekor ayam yang dipelihara olehnya, dan jika ayam tersebut sudah besar dan dijual, maka uang hasil penjualannya akan menjadi hak anak tersebut. Nah, jika si anak tersebut makannya sampai bersisa, maka ayam peliharaannya tadi, bisa mati.
11. Jika makan tebu, harus dimakan dari ujung dulu (dari bagian yang tidak manis),
Pantangan ini juga ditujukan kepada anak kecil. Menurut orang-orang tua, bagian yang tidak manis tersebut, jika dimakan terlebih dahulu, maka anak tersebut nantinya bisa pandai berenang.
Di sungai atau laut.
1. Tidak boleh mencuci kuali langsung di sungai, dan membuang abu dapur ke sungai,
Mencucui kuali, atau membuang abu dapur di sungai, terutama pada saat lorang tersebut melakukan perjalanan dengan menggunakan sampan, maka akan menyebabkan hujan ribut, yang bisa membahayakan nyawa orang yang bersangkutan tentunya. Jadi boleh dikatakan hal ini juga bisa menyebabkan kematian.
Di sawah
1. Menampi beras di sawah,
Petani sangat dilarang untuk menampi padi atau beras di sawah. Hal ini dikarenakan, penduduk di sana (sebagian) sangat meyakini bahwa padi atau beras itu seperti anak kecil. Maka petani tersebut harus memperlakukannya secara lemah lembut. Jadi perbuatan menampi beras dianggap suatu perbuatan yang bisa menyebakan padi tersebut ketakutan, jika dia takut, mereka percaya bahwa padi-padi lain (yang belum dipanen) jika melihat hal tersebut, akan ketakutan, lalu ia akan “lari”.
Di hutan
1. Tidak bolah mencemari air yang tergenang,
Jadi saat di hutan, jika kita menemukan air yang menggenang, maka kita tidak boleh mencemari air tersebut, baik itu mengunjak-injaknya, membuatnya keruh, apalagi kencing di sana, karena perbuatan tersebut dianggap sama saja dengan durhaka kepada orang tua.
2. Tidak boleh memanggang terasi, ikan, dan rotan pada malam hari,
Orang yang sedang berada di dalam hutan, sangat dilarang untuk membakar terasi, ikan, atau barang-banrang yang berbau menyengat lainnya, selain itu juga tidak boleh membakar rotan, karena perbuatan tersebut dapat mengundang hantu hutan, untuk menghampiri dan mengganggu kita.
3. Kencing di liang-liang kayu atau lubang tanah,
Di dalam hutan, sudah pasti kita akan banyak sekali menemukan lubang-lubang di tanah atau liang-liang yang terdapat di kayu-kayu besar, karena dikhawatirkan liang atau lubang tersebut merupakan tempat tinggal makhluk halus. Jadi jika seseorang kencing di tempat tersebut, maka makhluk halus yang mendiaminya akan marah, lalu menggangu orang tersebut.
4. Berludah sembarangan,
seseorang yang sedang berada di hutan juga sangat dilarang untuk meludah di sembarang tempat, karena air ludah tersebut bisa mengundang pacet dan lintah.
5. Jika ingin minum di air yang tergenang di hutan, harus menggunakan mulut langsung (seperti binatang).
Jadi, seseorang tidak boleh menggunakan tangan atau alat Bantu seperti gelas dan lain-lain, karena jika tidak, maka orang tersebut akan mengalami sakit perut atau sakit tulang.
6. Jika sedang kecapean, jangan memegang lutut,
Jika sedang melakukan perjalan di dalam hutan, jika seseorang merasakan capek, maka sangat dilarang untuk memegang lutut, karena jika dilanggar, bisa menyebabkan orang tersebut tidak bisa berjalan sama sekali. Akan tetapi bisa diobati dengan memukul-mukulkan daun kayu hutan, ke lutut yang sakit tersebut.
7. Jika bertemu binatang buas, tidak boleh menyebutnya dengan namanya langsung.
Di hutan, jika kita menemukan binatang buas seperti ular, harimau, beruang atau binatang buas yang lainnya, tidak boleh disebut namanya, akan tetapi harus disebut dengan bahasa kiasan lain, contohnya kita sebut Nenek atau Datok, karena jika tidak, binatang tersebut akan bertambah besar dan ganas.
8. Tidak boleh melangkahi atau berjalan di atas kayu yang saling bersilang (yang membentuk huruf X).
Jika bertemu dengan pohon kayu yang saling bersilang (membentuk huruf X), lebih baik mengambil jalan lain, dari pada berjalan di atasnya, karena dipercaya, jika hal tersebut dilakukan bisa membuat kita tersesat di dalam hutan tersebut, dan tidak akan bisa ditemukan oleh siapapun.
9. Tidak boleh menebang kayu yang rimbun,
Menebang kayu yang sangat rindang, yang di bawahnya tak ada kayu lain yang tumbuh, juga dilarang, karena pohon tersebut dipercaya merupakan tempat tinggal makhluk halus, dan jika ditebang maka makhluk halus tersebut akan marah dan mengganggu orang yang menebangnya.
10. Jangan memanggil nama teman dengan berteriak,
Jika ada teman yang tertinggal rombongan atau tersesat di hutan, maka dilarang memanggil namanya dengan berteriak, kalaupun harus berteriak, maka jangan memanggil namanya, bisa dengan mengganti dengan istilah lain, atau cukup dengan meneriakkan kata “HU” atau “WOI” atau yang sejenisnya, karena jika tidak, hal tersebut bisa membuat hantu hutan akan menyemar menjadi orang yang kita penggil tersebut.
11. Tidak boleh melangkahi senjata tajam yang akan digunakan untuk bekerja.
Pelanggaran dari pantangan ini akan menyebabkan orang yang menggunakan alat yang telah dilangkahi tersebut cedera. Akan tatapi, hal tersebut bisa dicegah dengan meludahi senjata tajam tersebut kemudian diangkat ke kepala.
12. Tidak boleh memukul akar-akar kayu yang menonjol ke tanah,
Memukul-mukul akar pohon yang menonjol dari tanah dilarang karena perbuatan tersebut membuat hantu-hantu hutan berdatangan, karena suara pukulan tadi diibaratkan suara musik yang membuat hantu hutan suka,lalu datang ka erah asal suara tadi.
13. Tidak boleh bersiul,
Seseorang juga sangat tidak dianjurkan untuk besiul saat berada di hutan, sebab akan mendatangkan badai.
Pantangan bagi wanita yang sedang hamil, serta suaminya, dan setelah ibunya melahirkan:
1. Jangan duduk di depan tangga,
Wanita yang sedang hamil, tidak boleh duduk di depan tangga pintu masuk rumah, karena akan mempersulit proses persalinannya nantinya.
2. Tidak boleh tidur saat matahari sedang naik (waktu pagi),
Tidur di waktu matahari sedang naik sangat dilarang untuk semua orang, apalagi wanita yang sedang hamil, karena bisa menyebabkan bayi yang di dalam kandungan jadi bengkak, sehingga secara otomatis nantinya akan menyulitkan proses persalinan.
3. Bagi suami, jangan menyembelih hewan, saat istrinya sedang hamil,
kegiatan menyembelih hewan, bagi seorang suami sangat dilarang. Karena perbuatan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan anaknya mirip dengan hewan yang disembelih oleh ayahnya tersebut.
4. Suami juga tidak boleh membelah kayu,
Membelah kayu, atau menebang kayu bagi suami yang isterinya sedang hamil besar juga dilarang, karena anaknya bisa berbibir sumbing, cacat atau terjadi hal-hal jelek lainnya.
5. Seorang bapak, yang anaknya belum berumur 40 hari dilarang memotong batang pisang.
Saat anak baru lahir, terutama saat tali pusarnya belum kering, bapaknya tidak boleh memotong batang pisang, karena akan menyebabkan pendarahan pada pusar bayi tersebut. Berdasarkan cerita yang penulis dapatkan dari dukun yang biasa membantu persalinan warga di sana, peristiwa ini pernah terjadi. Bapak dari anak tersebut, karena tidak tahu, ia menebang pisang, anakanya yang ada di rumah, dengan serta merta mengalami pendarahan hebat pada pusarnya, yang akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia.
6. Seorang ayah juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor,
Selain memotong pisang tadi, sebelum seorang anak memasuki umur 40 hari, bapaknya juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor, karena jika dilanggar, maka perut anaknya akan kembung.
Pantangan-pantangan yang telah disebutkan di atas, sudah pasti belum semuanya terangkum. Masih banyak pantangan-pantangan lainnya yang belum sempat terekam. Namun penulis rasa, dari beberapa hal tersebut sedikit sudah bisa menggambarkan mengenai apa dan bagaimana posisi budaya pantang larang bagi masyarakat Melayu Sambas. Hal itu dapat dilihat dari tempat berlakunya, hampir semua mencakup tempat-tempat dan kondisi yang memang sangat dekat dengan kehidupan orang Melayu, yakni sawah, sungai dan hutan.
Pantangan-pantangan tersebut, jika kita tinjau lebih dalam, (terlepas dari ancaman-ancaman tersebut, tentunya) maka kita akan menemukan wujud dari kearifan lokal masyarakat setempat pada zaman dahulu dalam upaya untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang sopan santun, etika, dan upaya dalam memelihara lingkungan, serta penghargaan terhadap makhluk ghaib, yang walupun tak terlihat, namun mereka ada, dan berdampingan dengan manusia. Belum lagi jika kita tinjau dari segi kesehatan dan dihubungkan juga dengan ajaran agama.
Sebagai contoh, pantangan yang berhubungan dengan pelajaran etika, yakni larangan bagi anak gadis, jangan duduk di depan pintu, atau larangan bernyanyi jika sedang masak. Jika kita lihat hikmah dan pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua melalui pantangan itu, memang sangat bijaksana. Anak gadis, dan penulis rasa juga berlaku untuk semua orang, memang tidak pantas duduk di depan pintu. Karena perbuatan tersebut menghalangi orang yang mau masuk, dan itu sangat mengganggu. Begitu juga halnya dengan masak sambil bernyanyi, mungkin orang tua zaman dahulu khawatir, nanti malah anak gadis tersebut keasyikan bernyanyi, sehingga melupakan masakannya.
Contoh lain misalnya, jika makan tebu, harus dimulai dari bagian ujungnya (bagian yang tidak manis) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan, agar si anak bisa menghargai makanan, sebab jika dia makan yang manis dahulu, bagian yang tidak manisnya, pasti ditinggalkan. Namun, pesan terbesar yang ingin disampaikan melalui pantangan ini adalah, bagaimana kita menjalani hidup. Seseorang, akan merasakan kebahagiaan yang paling manis, ketika ia telah mengecap pengalaman yang tidak manis, bahkan yang pahit sekalipun dalam hidupnya.
Pantangan yang berhubungan dengan upaya dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya seseorang dilarang membuang abu dapur, atau mencuci kuali ke dalam sungai. Atau pantangan saat berada di hutan, yakni seseorang tidak boleh mencemari air yang tergenang. Larangan tersebut sudah sangat jelas, bahwa ada upaya pencegahan perbuatan yang dapat mencemari lingkungan di situ.
Pantang larang yang bisa kita lihat dari segi upaya menjaga kesehatan dan kebersihan. Misalnya, tidur jangan sambil tengkurap, tidur jangan bertopangkan tangan, dan yang bagi wanita hamil jangan tidur pada saat matahari sedang naik (waktu dhuha), mandi jangan menggunakan baju, dan pantangan mencuci piring pada malam hari. Kesemua itu adalah wujud dari kebijaksanaan orang tua dalam mengajarkan anak-anaknya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan.
Yang terakhir, kita kaji dari sudut pandang agama. Salah satu contohnya adalah seorang anak tidak boleh makan bersisa. Bukankah Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan perbuatan mubazir. Selain itu, pantangan tersebut juga mengajarkan pada anak-anak untuk terbiasa menghargai makanan, berapapun jumlahnya. Dan perbuatan tersebut, selayaknya memang harus dibiasakan sejak kecil, karena itu akan membentuk perilakunya sampai ia dewasa.
Di antara pantangan-pantangan di atas, memang, tidak dapat dipungkiri ada juga sebagian yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah etika, kesehatan, ataupun agama. Akan tetapi hal tersebut benar-benar mereka pegang. Mengenai masalah ini, tokoh masyarakat, yang menjadi narasumber dari penelitian ini, sama sekali tidak mau membeberkan alas an mengapa hal tersebut sangat mereka yakini. Beliau hanya menjelaskan bahwa dia juga diberitahu oleh orang tuanya, dan orang tuanya dulu juga diberitahu oleh neneknya, dan begitu terus secara turun-temurun.
Pantangan-pantangan yang dimaksud itu, misalnya di hutan tidak boleh membakar barang-barang yang berbau menyengat, seperti terasi, ikan dan rotan. Seorang bapak yang mempunyai anak bayi yang belum genap berumur 40 hari, tidak boleh membelah kayu, memotong batang pisang, ataupun memompa sepeda atau sepeda motor. Tapi, pastinya orang tua zaman dahulu, mempunyai alasan kuat mengapa perbuatan-perbuatan tersebut juga dilarang. Bisa jadi, kejadian aneh (anaknya berbibir sumbing) atau musibah (pendarahan pada pusar anak, hingga anak tersebut meninggal dunia) memang benar-benar terjadi bertepatan dengan “pelanggaran” yang dilakukan ayahnya. Jadi, orang zaman dahulu, yang sama sekali belum mengetahui perihal cara penanganan kasus tersebut, lalu menghubung-hubungkan kejadiannya. Padahal, bisa jadi, musibah tersebut terjadi karena kesalahan penanganan pada sang bayi, yang lalu berakibat sangat fatal, yakni kematian. Begitulah akhirnya, secara turun temurun, hal tersebutlah yang diyakini sebagai penyebabnya.
Setiap pantang larang yang terdapat di dalam suatu masyarakat, biasanya mayoritas mengandung suatu ancaman, baik itu berupa kegagalan panen, kesulitan, tidak dapat jodoh atau dapat jodoh orang yang sudah tua, , didatangi hantu, sakit, atau bahkan ancaman kematian, baikitu bagi si pelaku pelanggaran, maupun terhadap orang-oarang yang tersayang. Semua hal tersebut, menurut penulis adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Mengapa kesemuanya itu, harus menggunakan sebuah ancaman.
Berdasarkan diskusi yang penulis lakukan bersama orang-orang terdekat, bahwa adakalanya sebuah ancaman itu pengaruhnya akan jauh lebih berhasil. Apalagi untuk masyarakat yang boleh dikatakan masih sangat tradisional, mereka akan sangat mudah mempercayai apa yang dikatakan oleh orangtuanya.
Orangtua, bagi masyarakat pedesaan, adalah seseorang yang tidak boleh dibantah. Semua yang ia katakana adalah kebenaran. Pemikiran yang seperti inilah yang membuat orang zaman dahulu sangat memegang teguh apa yang orangtua mereka sampaikan. Mereka menganggap bahwa, orang tua adalah orang yang sangat berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang banyak. Membantah perkataan mereka, berarti membuka jalan yang menuju kesengsaraan.
No comments:
Post a Comment