…..Terima Kasih Atas Kunjungan Anada di Blog Iccky…..

Tuesday, 9 March 2010

Kerajaan Mempawah


 Mempawah adalah ibu kota kabupaten Pontianak, provinsi Kalimantan Barat.
Berawal Dari Bangkule Rajank Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan raja Opu Daeng Manambung pada 1737-1761. Namun, kerajaan ini sebelumnya sudah ada jauh sebelumnya, sekitar 1380.
Berawal Dari Bangkule Rajank Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan raja Opu Daeng Manambung pada 1737-1761. Namun, kerajaan ini sebelumnya sudah ada jauh sebelumnya, sekitar 1380.
Pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri di pegunungan Sadaniang. Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah kerajaan suku Dayak, yang dipimpin oleh Raja Patih Gumantar.
Nama kerajaannya adalah Bangkule Rajank, dengan ibukota yang ditetapkan di Sadaniang. Kerajaan tersebut lebih terkenal dengan nama kerajaan Sadaniang, yang menjadi pusat pemerintahan pada saat itu.
Kejayaan kerajaan Bangkule Rajank membuat Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung ingin menguasainya. Perangpun timbul untuk merebut kekuasaan dari tangan Patih Gumantar.
Peperangan kala itu dilakukan dengan cara Kayau (memenggal kepala manusia). Serangan yang tiba-tiba dari kerajaan Bidayuh, membuat Patih Gumantar mengalami kekalahan. Raja yang terkenal gagah berani itu, meninggal akibat terkayau oleh lawannya.
Sejak kematian Patih Gumantar, perlahan-lahan kerajaan Bangkule Rajank mengalami kehancuran. Namun, kerajan ini bangkit kembali sekitar 1610 di bawah pimpinan Raja Kudong.
Kerajaan yang baru terisi oleh Raja Kudong setelah terjadinya perang Kayau, merupakan kepemimpinan baru yang bukan berasal dari keturunan Patih Gumantar. Ia memindahkan pusat pemerintahan kerajaan ke Pekana (sekarang dinamakan Karangan).
Pengganti Raja Kudong adalah Raja Senggaok yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senggaok. Pusat pemerintahanpun berpindah lagi ke Senggaok (hulu sungai Mempawah). Raja ini menikahi seorang putri Raja Qahar dari kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, yang bernama Puteri Cermin.
Ketika mereka menikah, seorang tukang nujum meramal kehidupan mereka. Tukang nujum mengatakan, bila Panembahan Senggaok dan Puteri Cermin melahirkan seorang putri, maka kerajaan nantinya akan diperintah oleh raja yang berasal dari kerajaan lain.
Hasil pernikahan tersebut melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Mas Indrawati. Ketika putri mahkota beranjak dewasa, ia menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari kerajaan Matan (Ketapang).
Mas Indrawati melahirkan seorang putri yang berparas cantik. Sultan Muhammad Zainuddin menamai anaknya itu Putri Kesumba, yang akhirnya menikah dengan Opu Daeng Manambung.
Raja Seorang Pelaut
Opu Daeng Manambung bukanlah orang Kalimantan asli. Ia beserta empat orang adiknya berasal dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka terkenal sebagai pelaut yang handal dan merantau keluar dari tanah kelahirannya.
Lautan yang mereka arungi antara lain Banjarmasin, Betawi, berkeliling hingga Johor, Riau, Semenanjung Melaka. Selama mengarungi lautan, mereka banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang mengalami kesulitan.
Bantuan yang mereka lakukan tersebut berbentuk membantu kerajaan kecil berperang, baik perang saudara maupun diserang oleh kerajaan lain. Seringnya mereka memenangi peperangan mengakibatkan mereka dikenal banyak orang dan kerajaan.
Merekapun sampai di daerah Kerajaan Tanjungpura (Matan), yang sedang mengalami perang saudara. Penyebab perang tersebut adalah Sultan Muhammad Zainuddin diserang oleh adik kandungnya yang bernama Pangeran Agung.
Pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan oleh Pangeran Agung berhasil dipadamkan oleh Opu Daeng Manambung beserta adiknya. Bahkan, Opu Daeng Manambung boleh mempersunting Putri Kesumba. Mereka dikaruniai sepuluh anak, diantaranya adalah Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya.
Sekitar tahun 1740, Opu Daeng Manambung dan istrinya menuju ke Mempawah. Merekapun mengunjungi Senggaok dan dilakukan serah terima pemerintahan dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Manambung. Pusat kerajaan dipindahkan ke Sebukit Rama (sekitar 10 kilometer dari Kota Mempawah).
Opu Daeng Manambung dikenal sebagai raja yang bijaksana. Penduduknya beragama Islam dan taat. Ia selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam memecahkan segala persoalan yang terjadi di kerajaannya.
Gusti Jati Pendiri Kota Mempawah
Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya merupakan penerus tahta kerajaan Mempawah setelah Opu Daeng Manambung meninggal dunia pada 26 Syafar 1175 Hijriah. Masa kepemimpinan Gusti Jamiril membawa kemakmuran wilayah kerajaan yang dikuasainya.
Masa keemasan Gusti Amiril tersebut, bersamaan dengan masa penjajahan Belanda. Bahkan, kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Hal itu disebabkan, raja Mempawah diisukan membenci dan akan memberontak pemerintahan Hindia Belanda.
Kabar tersebut membuat Belanda murka dan mengirimkan tentara prajurit yang bermarkas di Pontianak untuk menyerbu kerajaan Mempawah. Gusti Amiril yang mengetahui adanya penyerbuan, memutuskan memindahkan pusat pemerintahan ke Karangan.
Akibat sulitnya medan perjalanan dari Mempawah menuju Karangan, gerakan pasukan Belanda menjadi lamban dan gagal. Kebencian Panembahan Adijaya Kesuma Jaya semakin menjadi kepada Belanda.
Selama hayatnya, Gusti Jamiril berusaha untuk mengusir penjajah Belanda. Bahkan, sebelum meninggal, ia berpesan apabila meninggal dunia, dirinya tidak rela dikebumikan ke luar dari Karangan.
Jabatan raja sepeninggal Gusti Jamiril dipimpin oleh anaknya, Gusti Jati yang bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Kedudukan Gusti Jati yang berada di Mempawah, dipercaya sebagai pendiri Kota Mempawah.
Kedudukan Gusti Jati digantikan oleh adiknya yang bernama Gusti Amir dan bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. Setelah Gusti Amir wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Panembahan Mukmin.
Namun, usai penobatan kerajaan dilakukan, Panembahan Mukmin meninggal dunia. Iapun dikenal dengan sebutan Raja Sehari. Karena putranya masih kecil dan dirasa belum mampu mengurus kerajaan, penerus kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada adiknya, Gusti Mahmud, yang bergelar Panembahan Muda Mahmud.
Wafatnya Gusti Mahmud digantikan oleh putra Panembahan Mukmin yang bernama Panembahan Usman dan bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma. Ia mangkat pada 6 Jumadil, awal 1280 Hijriah, dan dimakamkan di Pulau Pedalaman.
Perjuangan Melawan Penjajah
Selepas Panembahan Usman wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mempawah dipegang oleh putra Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin. Masa pemerintahannya inilah, pennindasan penjahan Belanda merajalela dan mengakibatkan masyarakat menderita.
Tak tahan ditindas, masyarakat mulai mengadakan pemberontakan kepada penjajah Belanda. Terlebih, dengan diberlakukannya pembayaran pajak oleh masyarakat dengan cara pemaksaan.
Pemberontakan dilakukan oleh suku Dayak. Peperangan tersebut dikenal dengan nama perang Sangking, hingga mayarakat banyak merasa antipati dengan keberadaan Belanda di tanah kerajaan Mempawah.
Setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin wafat, pimpinan kerajaan yang semula akan diberikan kepada putranya, Gusti Muhammad Taufik. Tetapi, putranya tersebut belum dewasa, hingga kerajaan dipimpin sementara oleh Pangeran Ratu Suri, kakak dari Gusti Muhammad Taufik.
Pada 1902 masehi, Gusti Muhammad Taufik dirasakan sudah cukup umur untuk memimpin kerajaan. Iapun naik tahta dan bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Ia ditawan oleh Belanda bersama raja-raja daerah lainnya serta para pemimpin pemuka masyarakat.
Lepas dari tawanan Belanda, Gusti Muhammad Taufik diculik oleh penjajah Jepang. Bersama para tokoh masyarakat yang diculik, ia dibunuh. Lokasi pembunuhan sekaligus tempat pemakaman terjadi di Mandor.
Gusti Muhammad Taufik meninggalkan empat orang anak. Yakni Pangeran Mohammad atau yang saat ini dikenal bernama Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim, Pangeran Faitsal Taufik, Pangeran Abdullah, dan Pangeran Ratu Hajjah Thaufiqiyah Mohammad Taufik.
Pada masa itu, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti raja yang diketuai oleh Pangeran Wiranata Kesuma (1944-1946).
Akhir Kepemimpinan Kerajaan Mempawah
Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad yang baru berumur 13 tahun pernah diangkat menjadi panembahan (tokoh) Mempawah oleh pemerintah bala tentara Jepang dalam suatu upacara di depan gedung Kerapatan.
Tokoh-tokoh masyarakat kemudian melakukan lagi upacara penobatan yang sama pada tahun 1946. Tahun ini pula Belanda (NICA) datang lagi ke Mempawah dan mencoba mengangkat raja kembali.
Karena Panembahan Pangeran Mohammad (Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim) belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya yang baru duduk di kelas VSD (Jokio Ko Gakko), ia tidak bersedia diangkat kembali.
Pengganti Pangeran Mohammad adalah Gusti Musta¢an yang menjadi raja sementara bergelar ¡wakil panembahan¢ hingga tahun 1955. Meskipun sudah pernah dinobatkan secara formal menjadi Panembahan dan sudah dewasa, Pangeran Mohammad menyatakan tidak bersedia menggantikan ayahnya sebagai raja.
Penolakan tersebut dikarenakan dirinya ingin terus melanjutkan pendidikannya di perguruan tingga Gadjah Mada Yogyakarta. Keputusannya itu mengakhiri kepemimpinan kerajaan Mempawah.
Sejak berdirinya kerajaan Mempawah hingga berakhirnya masa kepemimpinan berakhir, kerajaan sudah mengalami perpindahan pusat kerajaan sebanyak lima kali. Yakni pegunungan Sadaniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.
Raja yang memimpin kerajaan Mempawah dibagi dalam dua zaman, yaitu zaman Hindu dan Islam. Zaman Hindu dipimpin oleh tiga raja, sedangkan zaman Islam dipimpin oleh 13 raja.
Raja zaman Hindu adalah Patih Gumantar, Raja Kudong, dan Panembahan Senggaok. Raja zaman Islam adalah Opu Daeng Manambung, Gusti Jamiril, Syarif Kasim, Syarif Husein, Gusti Jati, Gusti Amir, Gusti Mukmin, Gusti Mahmud, Gusti Usman, Gusti Ibrahim, Muhammad Tsafiudin, Drs Gusti H Jimmi Muhammad Ibrahim, dan Ir Mardan Adijaya M Sc P Hd

Sebelum terkenalnya Kerajaan Mempawah yang dikenal dengan Istana Amantubillah dan Opu Daeng Manambon, telah ada jauh kebelakang kerajaan Dayak yang ketika itu sangat populer dikenal di Kalimantan Barat. Dan apabila akan mencoba menuliskan sebuah kerajaan di Kalimantan Barat sebelah Barat khususnya, maka tidak dapat dilepaskan kaitan dan rangkaiannya dengan penduduk aslinya yaitu Suku Dayak yang mula pertama menjadi raja dan penguasa.

Sebagaimana dituturkan penulis sejarah Kerjaan Mempawah, mengatakan, masuknya Agama Islam di Indonesia pada akhir abad ke 13 sekitar 1292 lalu, melalui Pulau Sumatera bagian Utara (Aceh), yang meluas sampai ke Pulau Jawa, maka berangsur-angsur runtuhlah kerajaan besar Majapahit yang terpusat di Pulau Jawa. Dan terdapatlah pulau besar yang belum pernah disentuh oleh penyebaran Agama Islam.

“Kerajaan Melayu (Islam) di Kalimantan Barat tumbuh sebelum Imperium Melaka jatuh ketangan Portugis pada abat ke 16, sebagaimana diketahui adanya kerajaan Mempawah, Kerajaan Sambas, Kerajaan Matan (Ketapang) dan sejumlah kerajaan kecil di daerah pedalama,” katanya.

Perkembangan sebuah Kerajaan Melayu di Kalimantan Barat, khususnya Sambas dan Mempawah, termasuk Ketapang tidak terlepas dari kontribusi pahlawan-pahlawan Bugis yang memainkan peran di kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

“Kerajaan mempawah lebih dikenal pada masa Pemerintahan Opu Daeng Manambon yaitu sejak 1737-176, sebenarnya kerajaan Mempawah itu sudah ada sebelumnya diperkirakan sejak tahun 1380,” katanya.

Lanjutnya lagi pertama kali Kerajaan Mempawah berdiri, pusat pemerintahannya bukanlah terletak di Mempawah seperti yang dilihat bekas-bekas peninggalannya sekarang. Tetapi pusatnya terletak di Pegunungan Sidiniang (Mempawah Hulu). Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah Kerajaan Suku Dayak, adapun penguasa dari kerajaan suku Dayak adalah Patih Gumantar. Pada Kerajaan Patih Gumantar disebut kerajaan Bangkule Rajakng, ibukotanya ditetapkan di Sadiniang, bahkan kerajaannya dinamakan Kerajaan Sadiniang.

“Pada masa kekuasaan Patih Gumantar, Kerajaan Bangkule Rajakng berada dalam era kejayaan,” ucapnya.

Sehingga kerajaan tetangga yang ingin merebutnya yaitu Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung, maka terjadi perang kayau mengayau (memenggal kepala manusia). Meskipun Patih Gumantar sangat berani, namun dengan adanya serangan mendadak. Patih Gumantar kalah dan kepalanya terkayau (terpenggal) oleh orang-orang Suku Bidayuh, sejak kematian Patih Gumantar kerajaan Bangkule Rajakng mengalami kehancuran.

“Beberapa abad kemudian kira-kira tahun 1610, Kerajaan Suku Dayak bangkit kembali di bawah kekuasaan Raja Kudong dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Pekana (sekarang dinamakan Karangan), namun berdirinya kerajaan ini tidak ada hubungannya dengan Patih Gumantar,” katanya.

Lanjutnya lagi, setelah Raja Kudong wafat pemerintahan diambil alih oleh Raja Senggaok dari pusat kerajannya dipidahkan ke Senggaok ( masih di hulu Sungai Mempawah). Raja Senggaok lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Senggaok yang mempunyai istri bernama Puteri Cermin yaitu salah satu puteri Raja Qahar dari kerajaan Baturizal Indragiri Sumatera dan mereka dikarunia seorang anak yang diberi nama Mas Indrawati.

“Pada saat perkawinan raja Senggaok dan Puteri Cermin, diramalkan seorang ahli nujum apabila kelak lahir seoarang anak perempuan dari hubungan mereka maka kerajaan tersebut akan diperintah oleh seorang raja yang berasal dari kerajan lain. Ketika usia Mas Indarwati telah cukup dewasa, ia dikawinkan dengan Sulthan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dan dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang puteri berparas cantik yang diberi nama Puteri Kesumba,” paparnya.

Ramalan ahli nujum terhadam Raja Senggaok dan Pitri Cermin apabila kelak lahir seoarang anak perempuan dari hubungan mereka maka kerajaan tersebut akan diperintah oleh seorang raja yang berasal dari kerajan lain ternyata menjadi kenyataan

“Ternyata apa yang diramalkan ahli nujum itu benar adanya. Setelah berakhir pemerintahan Raja Senggaok. Kerajaan Mempawah diperintah oleh Raja Opu Daeng Manambon pelaut ulung dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan,” kata Ellyas Suryani Soren melanjutkan ceritanya yang pernah ditulisnya dalam buku Legenda dan Cerita Rakyat Mempawah.

Maka dari itu, Ellyas menjelaskan, Opu Daeng Manambon bukanlah orang Kaliamantan asli, beliau beserta keempat adik-adiknya berasal dari Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan pemberani. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya merantau mengarungi lautan luas menuju Banjarmasin, Betawi, berkeliling sampai Johor, Riau, Semenajung Melayu akhirnya sampai pula di daerah Kerajaan Tanjungpura (Mantan).

“Dalam perantauannya, kelima bersaudara tersebut banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang sedang mengalami kesulitan. Kesulitan seperti terlibat pada suatu peperangan, baik perang saudara ataupun baru diserang kerajaan lain. Karena kebiasaan tersebut dan sifat suka menolong terhadap pihak yang lemah inilah mereka terkenal sampai dimana-mana,” katanya.

Dan terbukti apa yang dilakukan kelima saudara tersebut ketika datang di Kerajaan Tanjungpura. Pada saat itu Kerajaan Tanjungpura sedang terjadi perang saudara, disebabkan adik kandung Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Pangeran Agung menyerang Sultan Muhammad Zainuddin. Kelima saudara tersebut berhasil membantu memadamkan pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan dari Pangeran Agung. Bahkan Opu daeng Manambon berhasil mempersunting Puteri Sultan Muhammad Zainuddin yaitu Puteri Kesumba cucu dari Panembahan Senggaok.

“Dari perkawinan Opu Daeng Manambon dengan Putri Kesumba, lahirlah sepuluh orang putra puteri, tetapi yang paling terkenal yaitu Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya,” katanya.

Lanjutnya lagi kertika Opu Daeng Manambon sampai di Senggaok, diadakan serah terima dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Manambon, karena Opu Daeng Manambon adalah cucu menantu Panembahan Senggaok. Sehingga Opu Daeng Manambon memangku jabatan Raja Mempawah yang ke tiga dandia memindahkan pusat Kerajaan Mempawah di Sebukit Rama ( kira-kira 10 Km ) dari Kota Mempawah.

“Pemerintahan yang dilaksanakan Opu Daeng Manambon berjalan lancar beliau termasuk seorang raja yang bijaksana dan penduduknya beragama Islam serta taat. Selain itu Opu Daeng Manambon ini selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam memecahkan segala persoalan di kerajaan,” tuturnya.

Seperti yang diuraikan diatas tadi, dari kesepuluh putra-putri Opu Daeng Manambon hanya putrinya Utin Chandramidi adalah istri Sultan Abdurrahman Alkadrie, raja pertama Kerajaan Pontianak sehingga nama tersohornya sampai saat ini. Sedangkan putranya Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, selain dia sebagai raja pengganti ayahnya, juga lebih terkenal itu dengan Raja yang paling anti dengan penjajah (Belanda) dengan sumpahnya, jasadnya diharamkan untuk dimakamkan di tanah yang di injak oleh Penjajah Belanda.

Setelah Opu Daeng Manambon wafat tanggal 26 Syafar 1175 Hijriah dan dimakamkan di Sebukit Rama yang selalu diramai dikunjungai masyarkat baik dari Kota Mempawah maupun daerah lain. Dimana kawasan makam Opu Daeng Manambon akan dikembangan menjadi kawasan wisata sejarah Kabupaten Pontianak. Dan ada keunikan yang ada disekitar makam dimana jumlah tangga selalu berubah dan setiap orang yang menghitung jumlahnya tidak akan pernah sama dengan orang lain.

“Setelah wafat Opu Daeng Manambon maka tampuk kerajaan diserahkan kepada Gusti Jamiril anaknya yang bergelar Panembahan Adijaya Kesuma Jaya. Dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Dan masa pemerintahan Gusti Jamiril pula, kerajaan Mempawah mengalami masa keemasan,” kata Ellyas Suryani Soren yang menjabat sebagai Sekretaris Majelis Adat Budaya Melayau Kabupaten Pontianak.

Karena Panembahan Adijaya Kesuma mampu memimpin Kerajaan Mempawah dengan baik, kerajaannya menjadi suatu kerajaan yang makmur, akan tetapi beliau diifitnah membenci dan mau memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tentunya Belanda murka dan mengerahkan ratusan prajuritnya yang bermarkas di Pontianak untuk menyerang Kerajaan Mempawah.

“Melihat situasi yang tidak baik, akhirnya Panembahan Adijaya Kesuma mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah di Karangan yang letaknya di Mempawah Hulu,” katanya

Keputusan tersebut diambil karena pada masa itu hubungan baik komunikasi maupun transportasi dari Mempawah ke Karangan sangat sulit sehingga gerakan pasukan Belanda menuju Karangan berjalan lamban sekali. Selain itu kebencian Panembahan Adijaya Kusuma terhadap penjajah Belanda semakin menjadi-jadi,” kata pria setengah baya ini.

Namun Panembahan Adijaya Kesuma sampai wafatnya terus berusaha mengusir Belanda. tetapi belum juga berhasil. Sebelum wafat beliau beramanah apabila meninggal dunia beliau tidak rela dikuburkan di luar kota Karangan, karena beliau tidak rela jenazahnya dijamah oleh Belanda. Dan setelah Gusti Jamiril (Panembahan Adijaya kesuma) wafat, jabatan raja diserahkan kepada anaknya Gusti Jati dan bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin dan kedudukannya adalah di Mempawah yang berarti bahwa beliaulah sebagai pendiri kota Mempawah ini.

Kemudian sebagai pengantinya setelah Sultan Muhammad Zainal Abidin meninggal digantikan oleh adiknya Gusti Amir yang bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin.

“Setelah beliau wafat tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya Panembahan Mukmin. Namun ajal ditangan Allah SWT memang manusia punya rencana, tetapi Allah SWT juga yang menentukan segalanya, karena setelah selesai penobatan Panembahan Mukmin wafat dan sebab itu dia disebut Raja Sehari,” ucapnya.

Kemudian sebagai penggantinya adalah adiknya bernama Gusti Mahmud dan bergelar Panembahan Muda Mahmud. Panembahan Usman putera dari Panembahan Mukmin, kemudian naik tahta kerajaan setelah Panembahan Muda Mahmud mangkat.

“Panembahan Usman ketika dia menjadi raja bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma dan mangkat pada tanggal 6 Jumadil Awal tahun 1280 Hijriah di makamkan di Pulau Pedalaman,” ujarnya.

Setelah wafat Panembahan Usman, maka yang memegang tampuk Kerajaan Mempawah adalah putera Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin, pada saat pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin inilah, Belanda mulai lagi menyakiti hati rakyat Mempawah sehingga tahun 1941 timbul pemberontakan Suku Dayak terhadap Belanda. Apalagi Belanda sudah mulai menggunakan kekerasan dan memaksa rakyat membayar pajak. Dan peristiwa ini disebut Perang Sangking, jelas rakyat Mempawah pada waktu itu mulai antisipasi terhadap Belanda.

Kemudian setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiudin ini wafat, maka semulanya pimpinan kerajaan akan diserahkan kepada Puteranya Gusti Muhammad Taufik, tetapi karena puteranya ini belum dewasa, maka kerajaan dipimpin sementara oleh Pangeran Ratu Suri kakak dari Gusti Muhammad Taufik sendiri.

Setelah beberapa tahun kemudian, Gusti Muhammad Taufik naik tahta pada tahun 1902 M dan kemudian bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Dua tahun 1944, Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin ini ditangkap oleh Jepang, bersama-sama Raja-raja daerah lainnya serta para Pemimpin Pemuka Masyarakat.

Kemudian 12 kepala Swapraja beserta tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang ditangkap Jepang yang akan memberontak terhadap rezim “Pemerintah Bala Bantuan Tentara Jepang” tersebut semuanya dihukum mati.
Korban pembunuhan Jepang pada waktu itu tidak kurang dari 21.037 orang. Dan sebagian dari pada korban tersebut dikuburkan di Mandor dalam semak belukar.

Beliau meninggalkan empat orang putera-puteri, yaitu Pangeran Mohammad yang sekarang dikenal dengan nama Drs. H. Jimmi Mohammad Ibrahim, kedua Pangeran Feitsal Taufik, Pangeran Abdullah dan Panggeran Taufikiah.
Pada masa kedudukan Jepang, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti Raja yang diketuai oleh Pangeran Wiranata Kesuma (Tahun 1944-1946).

Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad yang baru berusia 13 tahun pernah diangkat sebagai tokoh (Panembahan) Mempawah oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang dalam suatu upacara di depan Gedung Kerapatan.
Dan kemudian dilakukan upacara penobatan oleh tokoh-tokoh masyarakat, pada tahun1946 Belanda (NICA) datang kembali ke Mempawah dam mencoba mengangkat Panembahan (Raja) lagi.

Karena pada waktu itu Panembahan Pangeran Mohammad (Drs. Jimmi Mohammad Ibrahim) belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya, karena pada waktu itu baru duduk di kelas V SD (Jokio Ko Gakko), meskipun sudah pernah dinobatkan secara formil menjadi Panembahan, tetapi tidak bersedia diangkat kembali, maka diangkatlah Gusti Musta’an sebagai Raja sementara dengan gelar “Wakil Panembahan” sampai tahun 1957. Setelah Pangeran Mohammad dewasa, kemudian beliau menyatakan diri tidak bersedia diangkat sebagai Raja menggantikan ayahnya, dan masih tetap ingin melanjutkan sekolahnya di Perguruan Tinggi Gajah Mada di Yogyakarta.

Dan disinilah berakhirnya kepemimpinan kerajaan Mempawah, dan sejarah menunjukan bahwa Kerajaan Mempawah sejak berdiri hingga berakhir sudah mengalami perpindahan pusat Kerajaan sampai 5 (lima) kali. Daerah-daerah yang pernah ditempati sebagai pusat pemerintahannya adalah, Pengunungan Sidiniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.

Dan Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan ini dibagi atas 2 (dua) zaman, yaitu zaman Hindu dan Islam. Pada zaman Hindu Pemerintahan Kerajaan Dayak dalam kekuasaan Patih Gumantar pusat pemerintahannya terletak di Pegunungan Sidiniang, Raja Kudong pusat pemerintahannya terletak di Pekana (Karangan), Panembahan Senggaok pusat pemerintahannya terletak di Senggaok.

Sedangkan pada zaman Islam dipimpin oleh Opu Daeng Manambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara, Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adijaya Kesuma Jaya, Syarif Kasim bin Abdurrahman Alkadrie, Syarif Hussein bin Abdurrahman Alkadrie, Gusti Jati bergelar Sulthan Muhammad Zainal Abidin, Gusti Amir bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin, Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Natajaya Kesuma, Gusti Mahmud bergelar Panembahan Muda Mahmud Accamaddin, Gusti Usman bergelar Panembahan Usman, Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Tsafiuddin dan Gusti Taufik bergelar Panembahan Taufik Accamaddin.

Selengkapnya...

Monday, 8 March 2010

Kesultanan Kubu

Kesultanan Kubu adalah sebuah kesultanan yang sekarang terletak di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Tahun pendirian kesultanan ini tidak diketahui pasti. Namun, diperkirakan kesultanan ini berdiri pada abad ke-15.

Sejarah


Sejarah Kesultanan Kubu memiliki kaitan yang erat dengan sejarah Pontianak. Sejarah pantas berhutang budi kepada sekelompok kecil petualang dan saudagar Arab yang singgah di sana atas kemunculan serta tegaknya kedua Kesultanan tersebut pada awalnya. Yaitu ketika 45 penjelajah Arab yang berasal dari daerah Hadramaut di Selatan Jazirah Arab, yang pada mulanya bertujuan untuk mencari keuntungan dengan berdagang di lautan Timur-jauh (Asia) berlabuh di sana. Leluhur dan Tuan Besar (Sultan) Kesultanan Kubu pertama, yaitu Syarif Idrus Al-Idrus, adalah menantu dari Tuan Besar (Sultan) Mampawa (Mempawah). Ia Syarif Idrus juga merupakan ipar dari Sultan pertama Kerajaan Pontianak (Al-Qadri). Pada awalnya Beliau Syarif Idrus membangun perkampungan di dekat muara sungai Terentang, barat-daya pulau Kalimantan.

Sebagaimana keluarga sepupunya (Al-Qadri), Keluarga Syarif Idrus Al-Idrus (the Idrusi) tumbuh menjadi keluarga yang kaya-raya melalui perdagangan yang maju. Mereka membangun hubungan yang terjaga baik dengan Kerajaan Inggris Raya, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Sir Thomas Stanford Raffles (yang membangun Singapura), saat Raffles ditugaskan di Hindia Belanda. Hubungan ini berlanjut hingga setelah kembalinya Belanda ke Indonesia (Hindia Belanda) dan dirintisnya pembangunan pulau Singapura.

Bagaimanapun juga, hubungan ini tidak disukai oleh Kerajaan Belanda, yang secara formal mereka mengendalikan Pulau Kalimantan berdasarkan kontrak perjanjian bangsa-bangsa yang ditetapkan pada tahun 1823. beberapa keluarga Al-Idrus sempat juga mengalami perubahan kesejahteraan hidup menjadi sengsara pada masa itu. Mereka ada yang meninggalkan Kalimantan demi menjauhi sikap buruk Belanda ke daerah Serawak, yang mana waktu itu menjadi daerah territorial Kerajaan Inggris Raya, demi harapan yang lebih baik akan keberhasilan dalam perdagangan. Sedangkan Keluarga Al-Idrus yang memilin bertahan di Kubu, bagaimanapun juga, tak jua mendapatkan kehidupan serta perlakuan yang lebih baik dari pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda menurunkan Syarif Abbas Al-Idrus dari jabatan Tuan Besar Kesultanan atas dukungan sepupunya, Syarif Zainal Al-Idrus ketika terjadi perebutan jabatan Sultan pada tahun 1911. Akhirnya ia justru terbukti menemui kesulitan dalam pemerintahan serta diturun-tahtakan dengan tanpa memiliki pewaris/pengganti yang jelas, delapan tahun kemudian. Tidak adanya Pewaris tahta, baru ditetapkan dan disahkan setelah beberapa tahun kemudian. sehingga pejabat kesultanan yang ada selama kurun waktu itu hanyalah “Pelaksana sementara” (temporary ruler).

Setelah beberapa lama, akhirnya Syarif Shalih, mendapatkan kehormatan agung dari pemberi wewenang untuk menjabat sebagai Sultan, tetapi kemudian tertahan saat kedatangan tentara Jepang di Mandor, pada tahun 1943.

Dewan kesultanan dan Keluarga Bangsawan tak semudah itu menyutujui pergantian Kesultanan kepada Syarif Shalih. Hingga akhirnya justru Jepang menempatkan putra bungsu Sultan terdahulu yaitu Syarif Hasan, sebagai pemimpin Dewan Kesultanan akan tetapi belum sempat terjadi karena Jepang terlebih dulu kalah pada PD II dan meninggalkan Indonesia. Ia justru baru menerima pengesahan sebagai Pemimpin Kesultanan (Tuan Besar) Kubu pada tahun 1949, setelah Pemerintah Indonesia terbentuk. Kesultanan Kubu itu sendiri akhirnya berakhir dan menghilang ketika dihapus oleh Pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1958.

Sayyid Idrus bin Sayyid 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Tuan Besar Kubu (1772 – 1795)


Sayyid Idrus bin Sayyid 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Tuan Besar Kubu(17721795) –(lahir di Dukhum-Hadramaut Yaman, catatan sejarah menyatakan Beliau pernah singgah di Batavia bersama Al-Habib Husain bin Abubakar al-Idrus-- makamnya di Keramat Luar Batang, Jakarta Utara)-- membangun perkampungan Arab di pesisir Sungai Terentang, yang mana menjadi cikal-bakal Kesultanan Kubu pada tahun 1772. Gelar Sayyid atau Habib atau Syarif yang disandang beliau menandakan bahwa beliau termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyid Al-Imam Husain ra.

Beliau Syarif Idrus menikahi putri H.H. Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Mahmud Badaruddin I Jayawikrama Candiwalang Khalifat ul-Mukminin Sayyidul-Iman, Sultan Palembang, pada tahun 1747. Syarif Idrus wafat pada tahun 1795, penerus Beliau :

  1. Syarif Muhammad bin Syarif Idrus al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu – lihat bawah.
  2. Syarif 'Alawi bin Syarif Idrus al-Idrus, Tuan (Sultan) Ambawang (Kerajaan kecil bagian dari Kesultanan Kubu). Ia mencoba menjadikan Ambawang sebagai Kesultanan yang terpisah dari Kubu pada tahun 1800 akan tetapi tidak diijinkan oleh Pemerintah Belanda yang dideklarasikan pada tahun 1833 sebagai Kesultanan terpisah. Ia wafat di Ambawang.
  3. Syarif Abdurrahman bin Syarif Idrus (Sultan /Tuan Besar I Kubu) Al-Idrus. Syarif Abdurrahman bin Syarif Idrus Al-Idrus ini menikahi Syarifah Aisyah Al-Qadri yang merupakan putri dari Sultan Syarif Abdurrahman bin Husein Al-Qadri (Sultan I Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat). Berputra Sultan Syarif Ali Al-Idrus yang mendirikan Kesultanan Sabamban di Angsana (sekarang masuk wilayah Keramat Dermaga, Kabupaten Tanahbumbu --Kalimantan Selatan - Indonesia). Sultan Syarif Ali Al-Idrus menjabat sebagai Sultan Sabamban hingga akhir hayatnya. Jadi Keluarga Sultan Syarif Ali mempertemukan dua jalur kebangsawanan Kalimantan, yaitu dari jalur Kesultanan Kubu (Al-Idrus) dan Kesultanan Pontianak (Al-Qadri).
  4. Syarif Mustafa bin Syarif Idrus al-Idrus (Tuan Besar Kubu).
  5. Syarifa Muzayanah [dari Menjina] binti Syarif Idrus al-Idrus (Tuan Besar Kubu). Lahir pada 1748 (putri dari Putri Kerajaaan Palembang).
  6. Syarif Muhammad (17951829) ibni al-Marhum Syarif Idrus al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu.

Kerajaan Sabamban


Syarif Ali Al-Idrus, pendiri Kesultanan Sabamban yang merupakan cucu dari Sultan (Tuan Besar) Kubu -Syarif Idrus Al-Idrus ini, pada awalnya menetap di daerah Kubu-Kalimantan Barat (bersama keluarga bangsawan Kesultanan Kubu). Pada masa itu Beliau telah memiliki satu istri dan berputra dua orang yaitu : Syarif Abubakar Al-Idrus dan Syarif Hasan Al-Idrus. Karena ada suatu konflik kekeluargaan, akhirnya Syarif Ali Al-Idrus memutuskan untuk hijrah/pindah ke Kalimantan Selatan dengan meninggalkan istri dan kedua putranya yang masih tinggal di Kesultanan Kubu, melalui sepanjang Sungai Barito hingga sampai di daerah Banjar.

Di daerah Banjar tersebut, beliau mendirikan Kesultanan Sabamban dan menjadi Sultan yang Pertama, bergelar Sultan Syarif Ali Al-Idrus. Pada saat beliau menjadi Sultan Sabamban ini, Beliau menikah lagi dengan 3 (tiga) wanita; Yang pertama Putri dari Sultan Adam dari Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan, yang Kedua dari Bugis (Putri dari Sultan Bugis di Sulwesi Selatan), yang ketiga dari Bone (Putri dari Sultan Bone di Sulawesi Selatan). Pada saat beliau telah menjabat sebagai Sultan Sabamban inilah, kedua putra beliau dari Istri Pertama di Kubu-Kalimantan Barat yaitu Syarif Abubakar dan Syarif Hasan menyusul Beliau ke Angsana - Kesultanan Sabamban, dan menetap bersama Ayahandanya.

Dari Ketiga istri beliau di Banjar-Kalimantan Selatan serta satu Istri beliau di Kubu-Kalimantan Barat tersebut, Sultan Syarif Ali memiliki 12 (duabelas) putra. Putra-putra beliau yaitu : Dari Istri Pertama (Kubu-Kalimantan Barat) :

  1. Syarif Hasan bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus, putra beliau : Sultan Syarif Qasim Al-Idrus, Sultan II Sabamban menjabat sebagai Sultan setelah sepeninggal Kakeknya yaitu Sultan Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Al-Idrus, hingga akhirnya Kesultanan Sabamban ini hilang dari bumi Kalimantan Selatan.
  2. Syarif Abubakar bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus

Dari Istri ke-dua, Putri Kesultanan Banjar, Istri ke-tiga (Putri Sultan Bugis) dan Istri ke-empat (Putri Sultan Bone), menurunkan putra-putra beliau :

  1. Syarif Musthafa bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
  2. Syarif Thaha bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus,
  3. Syarif Hamid bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  4. Syarif Ahmad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  5. Syarif Muhammad bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  6. Syarif Umar bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  7. Syarif Thohir bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  8. Syarif Shalih bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus
  9. Syarif Utsman bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus dan
  10. Syarif Husein bin Sultan Syarif Ali Al-Idrus.

Setelah wafatnya Sultan Syarif Ali Al-Idrus, Jabatan Sultan tidak diteruskan oleh putra-putra beliau, akan tetapi yang menjadi Sultan II Sabamban adala justru cucu beliau yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus, putra dari Syarif Hasan (Syarif Hasan adalah putra Sultan Syarif Ali Al-Idrus dari Istri Pertama/Kubu, waktu Syarif Ali masih menetap di Kubu-Kalimantan Barat).

Jadi sepanjang sejarahnya, Kesultanan Sabamban ini hanya dijabat oleh dua Sultan saja, yaitu pendirinya Sultan Syarif Ali Al-Idrus sebagai Sultan I dan cucu beliau sebagai Sultan II Sabamban yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Idrus.

Sementara itu, setelah tidak adanya lagi Kesultanan Sabamban tersebut, anak-cucu keluarga bangsawan dari keturunan Sultan Syarif Ali Al-Idrus ini, menyebar ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dan ada yang hijrah ke Malaysia, Filipina, pulau Jawa dan di belahan lain Nusantara hingga saat ini.

Syarif Muhammad (1795 – 1829)


Syarif Muhammad (17951829) ibni al-Marhum Syarif Idrus al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal dunia pada 1795. Menerima perlindungan dari Belanda saat ia menyetujui kontrak perjanjian dengan Pemerintah NEI (Hindia Belanda), 4 Juni 1823. Ia meninggal pada 7 Juni 1829, memiliki keturunan, tiga putra :

  1. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Muhammad al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar of Kubu
  2. Syarif Taha bin Syarif Muhammad al-Idrus, Kampung Sungai Pinang.
  3. Syarif Mubarak bin Syarif Muhammad al-Idrus. Menggantikan kakaknya sebagai Pemimpin di Kampung Sungai Pinang.

Syarif 'Abdu'l Rahman (1829 – 1841)


Syarif 'Abdu'l Rahman (18291841) ibni al-Marhum Syarif Muhammad al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal pada 7 Juni 1829. Menikahi Syarifa Idja. Ia meninggal pada 2 Februari 1841, memiliki keturunan, tiga putra :

  1. Syarif Ismail bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Kubu – lihat bawah.
  2. Syarif Hasan bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Kubu – lihat bawah.
  3. Syarif Kasim bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. menikahi putri dari Pangeran Syarif Hamid, Batavia. Ia memilki, seorang putra:
    1. Syarif Ismail bin Syarif Kasim al-Idrus.
  4. Syarif Aqil bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Menikahi Syarifa Jara. Ia memiliki keturunan :
    1. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Akil al-Idrus. Menikahi Syarifa Piah ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, putri kedua dari Syarif Hasan bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Ia memiliki, dua anak.
      1. Syarif Hamid bin Syarif Akil al-Idrus. Menikahi Syarifa Kamala.
      2. Syarifa Saha binti Syarif Akil al-Idrus. Menikah dengan Syarif Umar ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Putra ke-empat Syarif Hasan bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Kubu. Ia memiliki dua anak - lihat bawah.
      3. Syarifa Bunta binti Syarif Akil al-Idrus.
  5. Syarifa Saida binti Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Menikah dengan Syarif Muhammad Ba-Hasan, dan memiliki keturunan :
    1. Syarifa Saha binti Syarif Muhammad Ba-Hasan. Menikah dengan Syarif Umar Al-Qadri, of Pontianak.
  6. Syarifa Nur binti Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Menikah dengan Syarif Alawi, memiliki keturunan dua putra :
    1. Syarif 'Abdu'llah bin Syarif Alawi. Menikah dengan Syarifa Saliha, memiliki dua anak.
    2. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Alawi.

Syarif Ismail (1841 – 1864)


Syarif Ismail (18411864) ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal pada 2 Februari 1841, dilantik pada 28 Mei 1841. Memiliki beberapa istri, termasuk (yang pertama) Tengku Embong binti al-Marhum Tengku Besar Anum (d.s.p.), Putri bungsu dari H.H. Tengku Besar Anum ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Jalil Shah, Panembahan Sukadana, dengan istri keduanya, Tengku Jeba binti Tengku Ja'afar, Putri tertua dari Tengku Ja'afar bin Tengku Musa, Tengku Panglima Besar Karimata. Syarif Ismail juga menikahi (yang kedua) Syarifa Zina.

Beliau meninggal 19 September 1864, memiliki keturunan, 4 laki-laki dan 8 perempuan :

  1. Syarif 'Abdu'l Rahman ibni al-Marhum Syarif Ismail (Putra Mahkota) menikahi Syarifa Amina. Ia hilang saat pergi ke Serawak (diperkirakan meninggal dunia), pada 1866.
  2. Syarif Muhammad Zainal Idrus ibni al-Marhum Syarif Ismail, Tuan Kubu - lihat bawah.
  3. Syarif Said ibni al-Marhum Syarif Ismail. Menikahi Syarifa Zina, dan memiliki dua anak.
  4. Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Ismail. Menikahi Syarifa Marian.

Anak perempuan :

  1. Syarifa Nur binti al-Marhum Syarif Ismail. Dia meninggal sebelum 1903.
  2. Syarifa Dara binti al-Marhum Syarif Ismail, menikah dengan sepupunya, Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Putra Bungsu Syarif Hasan ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Ia memilki, 3 anak - lihat bawah.
  3. Syarifa Fatima binti al-Marhum Syarif Ismail.
  4. Syarifa Amina binti al-Marhum Syarif Ismail.
  5. Syarifa Rola binti al-Marhum Syarif Ismail. menikah dengan Syarif Mahmud, dan memiliki 3 anak.
  6. Syarifa Zina binti al-Marhum Syarif Ismail. menikah dengan Syarif Mansur, dan memiliki 1 anak.
  7. Syarifa Talaha binti al-Marhum Syarif Ismail.
  8. Syarifa Mariam binti al-Marhum Syarif Ismail.

Syarif Hasan (1864 – 1871)


Syarif Hasan (18641871) ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Menggantikan Kakak tertuanya pada 19 September 1864. dilantik pada 5 Maret 1866. Resmi memegang jabatan Tuan Kubu mulai 7 Juli 1871. menikah dengan Syarifa Isa. Ia meninggal pada 4 November 1900, memiliki 13 putra dan 6 putri.

Putera :

  1. Syarif Muhammad ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir sebelum 1862.
  2. Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir sebelum 1862. Ia meninggal pada waktu muda.
  3. Syarif 'Abbas ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu - lihat bawah.
  4. Syarif 'Abdu'llah ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir pada 1870. menikah dengan Syarifa Selina, dan memiliki lima anak.
  5. Syarif Yasin ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. Lahir 1872. menikah dengan Syarifa Muna, dan memiliki keturunan, 4 anak.
  6. Syarif 'Umar ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarifa Saha binti Syarif Akil al-Idrus, putri tertua Syarif Akil bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Ia memilki, dua anak.
  7. Syarif Kasim ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. DH Kubu, Mbr. of the Cncl. of Regency (Anggota Majelis Rakyat Kabupaten/DPRD) 1919-1921. menikah dengan Syarifa Kamariah. Ia meninggal pada 16 Juni 1921.
  8. Syarif Taha ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarifa Darah, dan memiliki keturunan, 2 anak.
  9. Syarif Usman ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarifa 'Isa al-Idrus.
  10. Syarif Sajaf ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  11. Syarif Husain ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  12. Syarif 'Ali ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan sepupunya, Syarifa Dara, Putri kedua Syarif Ismail ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu.
  13. Syarif Zaman [Seman] ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.

Puteri :

  1. Syarifa Shaikha binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  2. Syarifa Sipa binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif 'Abu Bakar, dan memiliki keturunan, 2 anak.
  3. Syarifa Piah binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Akil al-Idrus, Putra tertua Syarif Akil bin Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus. Ia memilki, dua anak – lihat atas.
  4. Syarifa Talaha binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif Kechil, dan memiliki keturunan 2 anak.
  5. Syarifa Saida binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus. menikah dengan Syarif Muhammad, dan memiliki keturunan dua anak.
  6. Syarifah Mani binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.
  7. Syarifa Kembong binti al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus.

Syarif 'Abbas (1900 – 1911)


Syarif 'Abbas (19001911) ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Lahir 1853, Pendidikan Khusus. Menggantikan Ayahandanya yang meninggal pada 4 November 1900. Dilantik pada 6 Juli 1901. Diturunkan dari tahtanya pada April 1911. memiliki beberapa istri, termasuk Syarifa Kamariah. Ia memiliki dua putra dan 10 putri .

Putera-putera:

  1. Syarif 'Abdu'l Rahman ibni al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. Lahir 1903. Ia meninggal pada usia muda..
  2. Syarif Ahmad ibni al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus [Wan Sulung]. Ia terbunuh pada 1906.

Puteri-puteri :

  1. Syarifa Inah binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.
  2. Syarifa Zubaida binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Mahmud, dan memiliki keturunan tiga anak.
  3. Syarifa Kamala binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Hamid, dan memiliki satu anak.
  4. Syarifa Buntat binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Kasim, dan memiliki satu anak.
  5. Syarifa Isa binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.
  6. Syarifa Tura binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Muhammad Zainal Idrus ibni al-Marhum Syarif Ismail al-Idrus, Tuan Besar Kubu (Lahir pada 1851), Putra kedua Syarif Ismail ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu.
  7. Syarifa Nur binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif Muhammad [Mo] al-Idrus, dan memiliki satu anak.
  8. Syarifa Saliha binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus. menikah dengan Syarif 'Umar al-Idrus.
  9. Syarifa Kuning binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.
  10. Syarifa Kebong binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus.

Syarif Muhammad Zainal Idrus (1911 – 1921)


Syarif Muhammad Zainal Idrus (19111921) ibni al-Marhum Syarif Ismail al-Idrus, Tuan Besar Kubu. Lahir 1851, Putra kedua Syarif Ismail ibni al-Marhum Syarif 'Abdu'l Rahman al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu, Pendidikan Khusus. Dipilih oleh Belanda untuk menggantikan sepupunya yang diturun-tahtakan sebelumnya pada 26 September 1911. Dilantik pada 15 Januari 1912. Menyerahkan menyerahkan wewenang Kesultanan kepada Dewan Kabupaten pada 1919. di-turun-tahtakan tanpa adanya pilihan pengganti pada 11 April 1921. Memiliki 3 istri, termasuk Syarifa Tura binti al-Marhum Syarif 'Abbas al-Idrus, Putri ke-enam Syarif 'Abbas ibni al-Marhum Syarif Hasan 'Ali al-Idrus, Yang di-Pertuan Besar Kubu. Ia memiliki, 7 putra :

  1. Syarif Mustafa ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus.
  2. Syarif Akil [Agel] ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus. Lahir 1877, Pendidikan Khusus. Menikah dengan putri Syarif Said al-Idrus pada 1900. Ia memiliki 3 putra :
    1. Syarif 'Usman ibni al-Marhum Syarif Akil al-Idrus.
    2. Syarif Tani ibni al-Marhum Syarif Akil al-Idrus.
    3. Syarif Mohsen [Mukhsin] ibni al-Marhum Syarif Akil al-Idrus.
  3. Syarif Ja'afar ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus.
  4. Syarif Husain ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus (putra dari istri pertama).
  5. Syarif Hasan ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus, Tuan Besar of Kubu (putra dari istri kedua)- lihat bawah.
  6. Syarif 'Usman ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus (putra dari istri ke-tiga).
  7. Syarif Salim ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus.

Syarif Salih (1921 – 1943)


Syarif Salih (19211943) ibni al-Marhum Idrus al-Idrus, Tuan Besar Kubu. Lahir 1881, Pendidikan khusus. Dipilih oleh Belanda, bersama Dewan Kesultanan, dikenal sebagai Senior Mbr. of the Cncl. of Regent 1919 (Anggota Senior Dewan Rakyat Kabupaten). Menjadi Asisten Bupati pada 16 Juni 1921. Dikenal sebagai Pelaksana Sementara Kesultanan, pada September 1921. Dilantik pada 7 Februari 1922. Ditangkap oleh Jepang pada 23 November 1943. Menerima: Knt. of the Order of Orange-Nassau (17.8.1940) Gelar Ksatria-Bangsawan dari Kerajaan Belanda (17 Agustus 1940), dan Lesser Golden Star for Loyalty dan Merit (Gelar Pengabdian dan Jasa Luar Biasa dari Kerajaan Belanda). Ia dibunuh (dipancung) oleh tentara Jepang di Mandor pada 28 Juni 1944, memiliki dua putra :

  1. Syarif Yahya ibni al-Marhum Syarif Salih al-Idrus. Ia memiliki putra :
    1. Syarif Hamid bin Syarif Yahya al-Idrus.
    2. Syarif 'Abdu'l Rahman bin Syarif Yahya al-Idrus.
  2. Syarif Husain bin Syarif Salih al-Idrus. Excluded from the succession because of physical dan mental incapacity. Ia memiliki seorang anak :
    1. Syarif Yusuf bin Syarif Husain al-Idrus. (Mbr. of the Cncl. of Regency (Anggota Senior Dewan Rakyat Kabupaten) 1946).

Syarif Hasan (1943 – 1958)


Syarif Hasan (19431958) ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus, Tuan Besar of Kubu, Pendidikan: HIS Pontianak. Menjadi Ketua bestuur comite oleh Jepang pada tahun 1943. Dilantik sebagai Pemimpin Dewan Rakyat Daerah (Cncl. of Regency/DPRD) pada 1946. Terpilih sebagai head of the self-governing monarchy (Pemimpin Kerajaaan-kerajaan di Indonesia) pada 16 August 1949. Diturunkan dari tahtanya saat Kesultanan Kubu dihapus oleh Pemerintah RI pada tahun 1958.



Nasab Bani Alawi - al-Husaini


Bani Alawi ialah gelar marga yang diberikan kepada mereka yang nasab-nya bersambung kepada Sayyid Alawi bin Ubaidullah (Abdullah) bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Ahmad bin Isa Al-Muhajir telah meninggalkan Basrah di Iraq bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya pada tahun 317H/929M untuk berhijrah ke Hadhramaut di Yaman Selatan. Cucu Ahmad bin Isa yang bernama Alawi, merupakan orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh itu anak-cucu Alawi digelar Bani Alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Bani Alawi atau Ba'Alawi juga ialah bertujuan memisahkan kumpulan keluarga ini daripada cabang-cabang keluarga yang lain yang juga keturunan dari Nabi Muhammad SAW.

Bani Alawi (Ba 'Alawi) juga dikenali dengan kata-nama Sayid (jamaknya: Sadah) atau Habib (jamaknya: Haba'ib) atau Syarif (jamaknya: Asyraf, khusus bagi bangsawan/ningrat-nya). Untuk kaum wanitanya dikenal juga dengan sebutan Syarifah. Keluarga yang bermula di Hadhramaut di negara Yaman ini, telah berkembang dan menyebar, dan saat ini banyak diantara mereka yang menetap di segenap pelosok dunia baik Arab, Indonesia, Asia Tenggara, India, Afrika dan lainnya.

Gelar dan Istilah


Putra Mahkota/Pangeran : Syarif (atau Sayyid) (nama pribadi) ibni al-Marhum Syarif (atau Sayyid) (nama bapaknya) Al-Idrus (nama marga/keluarga), Tuan Besar Kubu (aslinya: Yang di-Pertuan Besar).

Anggota laki-laki keluarga Kesultanan yang lain, keturunan pada garis Bapak: Syarif (atau Sayyid) (nama pribadi) ibni Syarif (or Sayyid) (nama bapaknya) Al-Idrus (nama marga/keluarga).

Anggota wanita keluarga Kesultanan, keturunan pada garis bapak: Syarifah (nama pribadi) binti Syarif (atau Sayyid) (nama bapaknya) Al-Idrus (nama marga/keluarga).

Aturan Suksesi (Pergantian)


Pemilihan Raja dijalankan oleh Dewan Kesultanan (Council of the State) dan Anggota Senior dari Keluarga kebangsawanan yang menjabat Mufti/Qadhi (Ruling House).

Referensi


Sumber


  • Maktab Ad-Daimy, Badan Pencatatan Nasab Bani Alawi – Al-Husaini, Rabithah Alawiyah Pusat, Jakarta–Indonesia, Attn: Habib Zainal Abidin Seggaf As-Seggaf (Ketua) dan Habib Abubakar Seggaf As-Seggaf (Wakil), Buku Data Nasab Bani Alawi-Al-Husaini, No. 1, hlm. 149, (Jakarta: Maktab ad-Daimy), 1997
  • Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali Bin Yahya dan Team Penulis Panitia Muktamar ke-10 Jam’iyah Ahli Al Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah 1426H/2005 M - Pekalongan, Mengenal Thariqah – Panduan Pemula Mengenal Jalan Menuju Allah; Last Chapter, Sekilas Tentang Thariqah Alawiyah, (Jakarta: Aneka Ilmu), 2005
  • http://www.asyraaf.com (Telaah Kitab Al-Mu'Jamul Lathif halaman 140-141, tentang Qabilah Marga Al-Idrus)
  • Al-Habib Muhammad bin Abubakar Asy-Syalli Ba-‘Alawy, As-Syaikh Al-Akbar Abdullah Al-Idrus dalam Al-Masyra' Ar-Rawiy fi Manaqib As-Sadah Al-Kiram Bani Alawiy, tt
  • Sayyid Ahmad bin Muhammad As-Syathiri, Sirah As-Salaf Min Bani 'Alawiy Al-Husainiyin, (Jeddah: dicetak oleh Alam Ma'rifah), 1405H/1984
  • Prof Dr. HAMKA, Soal Jawab Agama Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru), 1978.
  • Ronald Lewcock, Wadi Hadhramaut and The Walled City of Shibam, UNESCO, 1986
  • Daniel van der Meulen dan H. Von Wissmann, Hadramaut -Some of Its Mysteries Unveiled
  • J. P. J. Barth, Overzicht der afdeeling Soekadana, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen. Deel L, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Albrecht & Co., Batavia, 1897.
  • J.J.K. Enthoven, Bijdragen tot de Geographie van Borneo's Wester-afdeeling. E.J. Brill, Leiden, 1903.
  • H. von Dewall, "Matan, Simpang, Soekadana, de Karimata-eilanden en Koeboe (Wester-afdeeling van Borneo)", Tijdschrisft voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel XI, Vierde Serie Deel II, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia, 1862.


Selengkapnya...